Minggu, 02 November 2008

Coret-coretan

PELABUHAN BITUNG:
Potret Pengembangan Pelabuhan di Timur Indonesia



Globalisasi pelan tapi pasti akan terus berjalan dan tidak akan dapat dihindari. Hal ini ditandai dengan makin terbukanya pasar antar Negara dan semakin cepatnya pergerakan barang, jasa an manusia. Kondisi ini akan semakin memperketat persaingan ekonomi antar Negara karena batasan serta hambatan keluar-masuk suatu negara semakin tipis. Agar dapat tetap eksis dalam persaingan global tersebut, setiap negara harus meningkatkan daya saing ekonomi secara menyeluruh yang melibatkan berbagai aspek/sektor pengelolaan terkait. Salah satu aspek yang terkait adalah pintu gerbang keluar-masuk produk-produk barang, jasa dan manusia: Pelabuhan Laut. Pelabuhan Laut memainkan peranan yang penting karena bila dibandingkan gerbang udara biaya operasionalnya lebih murah, volume lebih besar, dan khusus untuk Negara kita, secara geografis sangat sesuai.
Salah satu pelabuhan yang diharapkan menjadi salah satu pintu gerbang perekonomian Indonesia adalah Pelabuhan Bitung. Dengan posisi yang sangat strategis, berada di bibir pasifik dengan kedalaman yang sangat memadai serta adanya barrier alami Pulau Lembeh, Pelabuhan Bitung semakin berkembang dan memiliki peran yang sangat penting tidak hanya bagi propinsi Sulawesi Utara saja namun secara global bagi Kawasan Indonesia Timur lainnya. Pelabuhan Bitung dalam hitungan tahun-tahun terakhir telah berkembang pesat (baca: Sejarah Pelabuhan Bitung), bahkan untuk ke depannya ada wacana untuk dikembangkan mejadi salah satu international Hub Port di Indonesia yang akan mendampingi Jakarta, Surabaya, Batam dan Bali

Dermaga Pelayaran Rakyat


Potensi Pengembangan
Pelabuhan Bitung memiliki potensi-potensi yang memungkinkan untuk dikembangkan untuk memainkan peranan yang lebih strategis dalam percaturan ekonomi global. Secara umum, potensi-potensi tersebut terdiri atas potensi alami, kegiatan ekonomi (arus barang, jasa dan manusia) yang semakin meningkat, serta arah kebijakan pemerintah.
Pelabuhan Bitung terletak di Kota Bitung, Sulawesi Utara berada pada posisi 01°26’00” LU dan 125°11’00” BT tepat di bibir pasifik. Dengan perlindungan alami Pulau Lembeh, pelabuhan Bitung aman dari terjangan arus/ombak langsung dari Samudera Pasifik. Adapn data-data Hidro-oceanografi Pelabuhan Bitung panjang alur pelayaran 9 mil, lebar alur pelayaran 600 meter, kedalaman minimum 7 meter, luas kolam pelabuhan 4,32 Ha, kecepatan angin 6 knot, kecepatan arus 3 knot, serta tinggi gelombang 1 meter.
Secara geografis, letak Pelabuhan Bitung yang dekat dengan beberapa negara tetangga memungkinkan untuk memotong biaya dan waktu yang digunakan dalam proses transportasi barang, jasa maupun manusia. Sebagai contoh, animo eksportir di Sulawesi Utara untuk memanfaatkan pelayaran rute langsung Bitung - Singapura terus bertambah. Selain karena harga angkutan relatif lebih murah, rute ekspor Bitung-Singapura dinilai mampu menghilangkan sejumlah risiko, serta bisa mendorong percepatan cash flow. Selama ini biaya angkutan per peti kemas Bitung-Tanjung Perak/Tanjung Priok-Singapura dipasang oleh para pengusaha pelayaran sekitar 800 dollar AS. Setelah diadakannya pelayaran langsung Bitung-Singapura para pengusaha pelayaran langsung menurunkan harga per kontainer menjadi sekitar 550 dollar AS. Begitu pula dalam proses ekspor langsung, bakal jauh lebih murah dibandingkan harus melalui Jakarta, atau Surabaya dan Singapura.
Sedangkan fasilitas terminal yang dimiliki Pelabuhan Bitung saat ini antara lain, dermaga terminal Peti Kemas 130 m, dermaga Kapal Pelayaran Rakyat 60 m, lapangan penumpukan 44.000m2, CFS 42X30 m2, Dermaga Nusantara 605 m dan 602 m, IKD 146 m, lapangan petikemas Block 27.311m2 dan Hotmix 2.735 m2, gudang transit 13.392 m2, terminal Penumpang 3.195m2, serta fasilitas angkut lain: kapal tunda, pandu dan tongkang air, fasilitas dock/ship yard Forklift, truk, dsb. Selain itu, dalam 10 tahun terakhir, kegiatan Pelabuhan Bitung mengalami peningkatan kunjungan kapal sebanyak 0,80%, angkutan barang eksport sebesar 17,97%, angkutan barang import sebesar 16,16% serta angkutan petikemas sebesar 2,57%.
Beberapa konsep kebijakan pemerintah (pusat) meskipun beberapa diantaranya masih berupa wacana namun pengembangan Pelabuhan Bitung ditetapkan:
 Dalam strategi pengembangan jaringan pelabuhan kargo konvensional di Indonesia, pelabuhan Bitung merupakan salah satu dari 9 Pelabuhan Domestik Perhubungan Terminal Internasional.
 Dalam pengembangan Pelabuhan peti kemas di Indonesia, Pelabuhan Bitung diproyeksikan sebagai International Hub Container Port.
 Dalam pengembangan pelabuhan penumpang/pariwisata utama wilayah utara untuk Negara-negara Filipina, Malaysia, Brunei Darrusalam, dsb.

Dermaga Petikemas


Permasalahan yang dihadapi

Dilihat dari perjalanannya, Pelabuhan Bitung termasuk salah satu pelabuhan di Indonesia yang cukup pesat perkembangannya dan memiliki prospek pengembangan yang menjanjikan dimasa depan. Namun, di sisi lain terdapat beberapa permasalahan yang bisa menjadi kendala pengembangan pelabuhan tersebut.
Kapasitas Daratan dan Fasilitas
Dilihat dari kondisi wilayah pelabuhan Bitung, wilayah yang memungkinkan untuk dijadikan perluasan area pelabuhan tampaknya terbatas, apalagi kebutuhan luas 400 Ha yang diperlukan untuk wilayah operasional sebuah Pelabuhan Hub Internasional. Potensi lahan yang ada kurang cukup ruang untuk pengembangan dalam wilayah pelabuhan saat ini untuk menyediakan ruang bagi pusat distribusi barang, lapangan penumpukan dan lain-lain.
Jaringan Jalan
Jaringan jalan dari Pelabuhan Bitung ke kota Manado masih belum memenuhi persyaratan untuk dilalui kendaraan-kendaraan bertonase besar pengangkut petikemas. Selain itu, manajemen lalu lintas yang kurang efisien menyebabkan kongesti di dalam dan di sekitar Pelabuhan Bitung, yang cukup menghambat pergerakan barang maupun manusia di pelabuhan.
Isu-isu Institusional
Merupakan hal yang esensial menciptakan suatu pelabuhan yang lebih berdaya guna dan menarik dalam hal fasilitas dan manajemen/operasi bagi pengguna jasa seperti perusahaan pelayaran, agen perusahaan pelayaran, perusahaan ekspedisi (forwarder), pengirim barang, penerima barang dan lain-lain dalam rangka meningkatkan kegunaan dari pelabuhan serta untuk mendapatkan posisi sebagai salah satu pelabuhan utama di Indonesia. Untuk itu diperlukan waktu yang cukup, pemahaman yang luas dan sistematis dari kebutuhan pengguna jasa dan mempertimbangkan kebutuhan mereka dalam pengembangan praktis dan manajemen/operasi pelabuhan. Dalam hal ini PT. Pelindo dan Administrator Pelabuhan sebagai pengelola dan koordinator pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan kegiatan pelayanan jasa kepelabuhanan diharapkan bisa selalu meningkatkan kinerjanya guna memberikan pelayanan, menjamin keselamatan dan kelancaran tugas operasional di pelabuhan, serta menyelesaikan masalah-masalah yang dapat mengganggu kelancaran kegiatan operasional pelabuhan.
Isu Lingkungan
Masalah koneservasi lingkungan selalu menjadi isu yang mewarnai setiap engembangan pelabuhan, tak terkecuali pengembangan Pelabuhan Bitung yang disoroti oleh beberapa LSM lingkungan hidup karena akan menggusur kawasan habitat kuda laut yang dilindungi. Selain itu, konservasi dari fasilitas yang baik dan lingkungan merupakan keharusan bagi pelabuhan besar seperti Bitung untuk kohabitasi yang lebih baik dengan fungsi wilayah kota yang terdekat.
Kebijakan Pemerintah
Pengembangan Pelabuhan Bitung seperti halnya pelabuhan-pelabuhan lainnya di Indonesia, sangat berkaitan erat dengan kebijakan-kebijakan Pemerintah. Setiap pengembangan pelabuhan selalu mengarah ke Pelabuhan Internasional atau Hub Internasional dan tampaknya tren yang terjadi saat ini setiap Pemerintah Daerah yang memiliki Pelabuhan selalu berusaha mempromosikan ke Pemerintah Pusat tentang perlunya Pelabuhan mereka dikembangkan menjadi pelabuhan internasional atau bahkan hub internasional. Sebenarnya, hal ini bertentangan dengan kebijakan yang mengarah prinsip-prinsip cabotage yang dianut pemerintah Indonesia. Azaz cabotage yang penerapannya didukung dengan Instruksi presiden Nomor 5 tahun 2005 tentang pemberdayaan industri pelayaran nasional. Cabotage sendiri merupakan hak eksklusif yang dimiliki suatu Negara dalam menyelenggarakan kebijakan transportasi dalam wilayahnya. Konsep cabotage berkaitan erat dengan sektor pertahanan dan kemanan serta perekonomian (baca: Cabotage).

Terminal Penumpang dan Dermaga Nusantara

Fakta-fakta yang terjadi pada Pelabuhan Bitung di atas merupakan satu potret pengelolaan pelabuhan di Indonesia. Dibutuhkan konsep perencanaan yang benar-benar matang dari pemerintah untuk pengembangan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Banyak aspek yang berpengaruh terhadap kebijakan pengembangan sebuah pelabuhan. Berkaca dari hal tersebut di atas, terdapat tiga hal yang perlu mendapat perhatian berkaitan dengan perencanaan pengembangan pelabuhan di Indonesia. Yang pertama, arah kebijakan pemerintah yang jelas, terarah serta tidak menimbulkan kontradiksi dalam implementasinya. Perencanan pengembangan pelabuhan hendaknya selalu berada dalam bingkai makro seluruh wilayah Negara Indonesia. Prinsip cabotage yang jelas-jelas sebagai sebuah strategi yang menyokong pertahanan dan keamanan Negara serta pembangunan perekonomian yang lebih merata hendaknya menjadi prioritas pertama dari strategi pemerintah. Fakta bahwa saat ini terdapat 141 pelabuhan internasional di Indonesia jelas tidak menguntungkan bagi kita, namun justru menguntungkan banyak negara lain.
Yang kedua, pembenahan intern pengelola serta pelaksana pemerintah di pelabuhan (PT. Pelindo dan Administratur Pelabuhan) sebagai ujung tombak pelayanan pelabuhan mutlak menjadi perhatian Pemerintah. Pola manajemen organisasi modern (SDM, sarana, prasarana serta implementasi peraturan perundangan secara efektif) hendaknya sudah harus diterapkan kedua institusi tersebut untuk selalu bisa mengikuti perkembangan kondisi serta permasalahan yang semakin kompleks.
Sedangkan yang ketiga adalah perlunya koordinasi antar instansi terkait dengan pengembangan pelabuhan di Indonesia. Departemen Perhubungan sebagai motor pengerak diharapkan selalu bisa menjadi fasilitator koordinasi institusi-institusi tersebut. Pelabuhan Bitung merupakan contoh yang menarik dimana saat ini berbagai pihak di Sulawesi utara seperti Pemerintah Daerah serta KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Manado Bitung) selalu menyampaikan kepada Pemerintah Pusat tentang mendesaknya Pelabuhan Bitung untuk dijadikan Pelabuhan Hub Internasional. Disinilah peran pemerintah Pusat (Departemen Perhubungan) untuk mengambil keputusan yang tepat dan bisa memfasilitasi kepentingan pihak-pihak yang terkait. Setiap keputusan hendaknya didasari kebijakan-kebijakan yang mencakup aspek-aspek pengembangan pelabuhan seperti dibahas pada poin di atas. Untuk studi misalnya, harus dilakukan secara obyektif tanpa diikuti kepentingan pihak-pihak tertentu sehngga benar-benar mencerminkan kebutuhan pengembangan pelabuhan dalam bingkai kepentingan nasional. (Wasis)


Sejarah Pelabuhan Bitung


1949 Pelabuhan Desa Bitung Penguasa Pelabuhan Menado
1950 Pelabuhan Bitung Penguasa Pelabuhan Manado/Bitung, kantor di Manado
Penelitian untuk pembangunan Dermaga Pelabuhan Bitung.
1953 Pelabuhan Bitung Penguasa Pelabuhan Manado/Bitung, kantor di Manado
Perwakilan PN Pelabuhan dan Shiping Departemen
1960 Pelabuhan Bitung Penguasa Pelabuhan Manado/Bitung, kantor di Manado
PN Pelabuhan (Perwakilan PN + Shiping Departemen)
1967 Pelabuhan Bitung Penguasa Pelabuhan dijabat ragkap oleh Kepala BPP Bitung, kantor di BPP Bitung
BPP/Adpel
1981 Pelabuhan Bitung BPP/Adpel Peralihan
1985 Adpel Bitung Kantor Adpel terpisah dari BPP Bitung,Adpel Likuidasi
1989 Adpel Kls III Bitung Kantor Adpel, Adpel Likuidasi
2000 Adpel Kls II Bitung Kantor Adpel, Adpel Likuidasi
2002 Adpel Kls I Bitung Kantor Adpel, Adpel Likuidasi


Cabotage

Cabotage adalah hak eksklusif yang dimiliki suatu negara dalam menyelenggarakan kebijakan transportasi dalam wilayahnya. Hak Cabotage menyangkut pemindahan penumpang dan/atau barang antara 2 (dua) tempat yang masih berada dalam satu negara. Sehingga bendera negara yang dimiliki oleh setiap armada maritim dalam pelayarannya, menurut prinsip cabotage menjadi syarat mutlak memperoleh hak cabotage tersebut. Tujuannya adalah memberikan kesempatan bagi pengusaha transportasi lokal untuk berkembang dan berperan serta dalam kegiatan perekonomian baik sebagai objek terutama sebagai subjek.
Mulanya konsep cabotage digulirkan dan diberlakukan bagi moda transportasi laut yang kemudian berkembang dan diimplementasikan pada moda-moda lain seperti moda transportasi udara dan moda transportasi darat. Pada prinsipnya azas ini merupakan bentuk proteksi suatu negara sehubungan dengan kedaulatan negara yang tentunya erat terkait dengan sektor pertahanan dan keamanan serta denyut perekonomian dalam wilayahnya walaupun bila dilihat dalam kacamata globalisasi, hal ini merupakan inefisiensi baik dari segi waktu, biaya maupun energi.
Data yang diperoleh penulis dalam tinjauan Moda Transportasi Laut, terdapat 141 Pelabuhan Internasional (Bisnis Indonesia, 04 April 2005). Artinya adalah terdapat 141 titik terbuka bagi pelayaran internasional yang tentunya memiliki konsekuensi yang harus disiap ditangani oleh Pemerintah. Tentunya hal ini menyangkut beberapa sektor utama, yakni pertahanan dan keamanan serta perdagangan dan perindustrian (perekonomian). Sehingga terdapat banyak jalur lalu lintas transportasi laut terbuka dalam wilayah kesatuan Indonesia bagi armada maritim berbendera negara lain yang diperbolehkan untuk singgah di pelabuhan internasional tersebut. Artinya pula bahwa terdapat jalur dan point persinggahan yang rawan baik bagi pertahanan dan keamanan maupun illegal trading.
Idealnya apabila konsep otonomi daerah telah mengcover seluruh aspek (IPolEkSosBudHanKam) dan terimplementasi dengan baik, menurut penulis jumlah Pelabuhan Utama non Pelabuhan Internasional dapat berjumlah sesuai dengan jumlah pembagian provinsi (1 provinsi – 1 Pelabuhan Intenasional) namun tentunya untuk menetapkannya menjadi Pelabuhan Internasional harus mempertimbangkan letak strategis-geografis, potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia dan industri pendukung dengan memandang konsep wawasan nusantara dan nasionalisme secara utuh. Tentunya hal ini membutuhkan political will, koordinasi sektoral, waktu, pembangunan sumber daya manusia, pembangunan sarana dan prasarana serta pembangunan armada pertahanan & keamanan yang mampu mendukung hal tersebut.
Pada beberapa negara azas cabotage diatur secara eksplisit dan diimplementasi dengan tegas dan konsekuen. Kita dapat mengambil satu contoh penerapan azas cabotage yakni di Amerika Serikat. Konsep ini dituangkan secara jelas dan tegas dalam Jones Act, dimana Pelabuhan-pelabuhan domestik (pelabuhan pengumpan/spoke) dibuka sedemikian luas untuk membuka kesempatan yang luas bagi pengusaha lokal tumbuh dan berkembang dalam partisipasinya menyediakan sarana penujang roda perekonomian. Sedangkan terdapat pula pelabuhan-pelabuhan internasional yang berfungsi sebagai pelabuhan pengumpul (hub) bagi spoke-spoke disekitarnya. Hal ini tentunya didukung oleh kebijakan dalam sektor transportasi, penegakan hukum, perdagangan, perindustrian, perbankan dan lainnya. Sebab tanpa basis yang kuat dan koordinasi sektoral yang solid, sungguh sulit tercipta iklim yang baik dan kondusif dalam memaksimalkan pertumbuhan armada nasionalnya.
Sehubungan dengan azas cabotage ini, pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional pada bulan Maret 2005 yang secara tegas mengikat 13 Menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Inpres ini digulirkan sebagai payung hukum bagi industri pelayaran nasional dalam menjawab beberapa hambatan untuk memaksimalkan pertumbuhannya, yaitu :
 Penerapan awal Azas Cabotage dimulai dengan mewajibkan muatan laut internasional Pemerintah dan BUMN untuk menggunakan Armada Maritim Nasional.
 Memberikan insentif fiskal/perpajakan bagi penggunaan Armada Maritim Nasional tersebut pada point 1 (satu) diatas.
 Memberikan insentif fiskal/perpajakan bagi pembangunan dan perbaikan Armada Maritim di Galangan Nasional.
 Mengurangi jumlah Pelabuhan Internasional.
 Menyiapkan Ratifikasi atas ketentuan yang dikeluarkan oleh IMO, yaitu Mortgage Law (Hipotik/Penggadaian Armada Maritim) dan Arrest of a Ship (Pelanggaran Pidana Armada Maritim) sebagai langkah menyiasati keterbatasan sumber-sumber pendanaan pada Industri Pelayaran Nasional.

Minggu, 26 Oktober 2008

Coret-coretan

ASSESSMENT CENTER DEPARTEMEN PERHUBUNGAN:
Sudah Saatnyakah Diperlukan?



Tulisan Penulis pada Edisi perdana Transparansi dengan judul SDM Departemen Perhubungan Dan Kemungkinan Redesign Pengelolaannya mengemukakan bahwa salah satu hal yang perlu dibentuk dalam rangka pengelolaan SDM Departemen Perhubungan yang lebih efektif adalah sebuah Assessment Center. Tulisan ini akan menggali lebih dalam tentang Assessment Center, fungsi dan perannya, serta berapa pentingnya diperlukan oleh Departemen Perhubungan.

Assessment Center

Prinsip ”The Right man On The Right Place” pasti selalu mengemuka dalam setiap konsep manajemen Sumber Daya manusia. Dan untuk menuju kepada prinsip tersebut, sangat mutlak diperlukan informasi yang akurat tentang man (SDM) maupun place (tugas/pekerjaan) dimaksud, karena dengan informasi yang akurat tentang pegawai dan pekerjaan, maka kita dapat secara akurat pula menempatkan pegawai tersebut pada sebuah tugas yang benar-benar sesuai. Dalam beberapa dekade yang lalu, perhatian para praktisi manajemen SDM tertuju pada pengukuran serta penilaian SDM sebagai individu dengan berbagai kompetensi dan potensinya untuk mendapatkan gambaran pelaksanaan tugas-tugas yang sesuai dengannya. Salah satunya adalah Assessment Center yang merupakan sebuah metode untuk menilai perilaku pegawai dalam pelaksanaan tugas yang meliputi aspek-aspek yang dibutuhkan untuk tugas-tugas tertentu. Assesment Center merupakan metode penilaian yang akurat dan handal serta validitasnya telah teruji dalam berbagai penelitian. Selain itu, keakuratan metode ini didukung oleh penggunaan bermacam-macam alat ukur, test, serta metode-metode lainnya (Tes Potensi Akademik, Personality Test, Intellegency Test, In-Basket Exercise, Group Discussion, Role Play, Presentation Skill, Test of Creative Thinking, dsb).
Assesment Center telah digunakan oleh banyak perusahaan dan instansi sebagai pilar untuk pembinaan serta pengembangan SDM. Beberapa hal yang menjadi tugas utama dari sebuah assessment center adalah:
1. Job analisys untuk mendapatkan kriteria yang baku dan jelas untuk pekerjaan/jabatan tertentu (Job Profile), serta mendapatkan personil yang tepat untuk pekerjan/jabatan tersebut.
2. Memperoleh gambaran yang jelas tentang personil, pemimpin dan kader-kader pemimpin yang ada melalui sebuah evaluasi kompetensi dan personality.
3. Memperoleh strategi pengembangan pegawai yang jelas dan terencana.
4. Memperoleh kebutuhan pengembangan kompetensi pegawai.
5. Pemberian jasa pengembangan kompetensi bagi pegawai (Development Center).
Hal-hal tersebut di atas adalah untuk memberikan informasi yang akurat, fair dan obyektif bagi organisasi dan pimpinan untuk mengambil keputusan/kebijakan kepegawaian, seperti seleksi, mutasi, promosi, pendidikan/latihan, career path, tata organisasi dsb.

Assessment Center dan Departemen Perhubungan

Telah disebutkan di atas, Assesment Center merupakan sebuah metode yang akurat dan handal serta telah banyak digunakan oleh perusahaan dan instansi pemerintah di Indonesia. Dalam konteks perusahaan-perusahaan, dimana kepedulian terhadap aset SDM-nya lebih tinggi, Assesment Center telah beberapa dekade berkembang dan menjadi bagian terpenting bagi pengambilan keputusan di bidang kepegawaian. Sedangkan dalam konteks instansi pemerintah, beberapa tahun terakhir banyak instansi telah serius mengembangkan konsep Assessment Center seperti BPKP dengan MAC (Management Assesment Center), BKD Daerah Istimewa Yogyakarta, BKD Jawa Tengah, BKN, Departemen Kehutanan, dsb.
Untuk menjawab tuntutan kinerja pemerintah yang lebih baik dan profesional ,beberapa instansi pemerintah telah serius menggarap aset SDM yang selama ini agak terlupakan dengan membentuk Assessment Center sebagai sebuah unit think-thank bagi pengambilan keputusan bidang kepegawaian. Bagaimana dengan Departemen Perhubungan? Beberapa alasan mengapa Departemen Perhubungan memerlukan sebuah Assessment Center:

1. Departemen Perhubungan memiliki aset pegawai lebih dari 28 ribu orang dengan lingkup/jenis tugas yang beragam dan wilayah yang besar tersebar di seluruh nusantara.
Bisa dibayangkan kesulitan-kesulitan dalam mengelola SDM Departemen Perhubungan. Untuk mempermudah tugas tersebut bisa digunakan alat-alat bantu yang bisa membantu pengelolaan SDM tersebut.
2. Sektor Perhubungan adalah sektor yang sangat strategis, bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat, tentu saja tuntutan kinerja yang lebih baik dan profesional sangat nyata dirasakan.
Tugas Departemen Perhubungan adalah pekerjaan yang sangat nyata bentuknya di mata masyarakat. Misalnya, kasus-kasus kecelakaan transportasi yang beberapa waktu ini bergantian terjadi, secara spontan memunculkan berbagai tanggapan dan tuntutan masyarakat untuk membenahi kinerja SDM transportasi yang pasti selalu menjadi kambing hitam dari kasus-kasus kecelakaan tersebut.

3. Alat bantu manajemen SDM yang dipakai saat ini tidak up to date dan tidak optimal lagi dalam menjawab tuntutan tugas organisasi Departemen Perhubungan.
Ibarat dalam sebuah tim mekanik balap mobil yang hanya memiliki peralatan bengkel serba manual. Meskipun pembalapnya hebat dan mobilnya kencang larinya namun ketika masuk pit stop para mekanik masih bekerja dengan obeng dan kunci manual untuk mengganti ban, tentu saja pembalap tim ini akan kalah dengan tim lain yang telah menggunakan alat-alat mekanik yang terbaru dan serba elektrik.

Dari tiga hal tersebut di atas, nyata bahwa dengan keberadaan sebuah Assessment Center akan memberikan imbas yang sangat berarti dalam meringankan tugas-tugas manajemen SDM di Departemen Perhubungsn dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi Departemen Perhubungan yang lebih optimal. Namun semua itu tentu saja kembali kepada kita sebagai pelaksana tugas-tugas Departemen Perhubungan, maukah kita kembangkan cara kerja kita dengan metode-metode kerja yang lebih baru dan inovatif yang tentu saja lebih optimal dalam pengelolaan SDM? Ataukah cukup saja dengan menjalankan apa yang selama ini kita jalankan? toh Departemen ini tetap bisa berjalan. Seperti tim mekanik balap mobil di atas cukuplah dengan obeng dan kunci manual, yang penting sampai ke garis finish (meskipun yang terakhir).

Yang Dibutuhkan Dalam Sebuah Assessment Center

1. Personil
Sebuah Assesment Center membutuhkan personil yang memiliki keahlian di bidang manajemen SDM serta psikologi. Cukup banyak pegawai Departemen Perhubungan yang memiliki keahlian dan latar belakang ilmu manajemen SDM, bahkan di Biro Kepegawaian Departemen Perhubungan saat ini telah memiliki Unit Pelayanan Psikologi yang terdiri dari beberapa Psikolog yang tugas-tugasnya merupakan serpihan dari tugas-tugas sebuah Assesment Center.
Jadi, tampaknya tidak ada kesulitan untuk mendapatkan personil yang bisa menggawangi organisasi ini, tinggal diberikan sedikit polesan penyegaran, studi banding, atau diklat-diklat Assesment. Selain itu, untuk memperkuat kinerja Assessment Center dapat pula melibatkan konsultan SDM yang expert di bidang Assessment Center.
2. Sarana
Selain personil, untuk mendukung pelaksanaan Assessment Center dibutuhkan sarana-sarana yang menjadi standar pelaksanaan kegiatan-kegiatan Assessment, antara lain:
• Ruang assessment dengan peralatan audio visual serta CCTV.
• Ruang kerja dengan peralatan kantor yang memadai (meja, komputer dsb) yang terjaga keamanannya.
• Ruang serbaguna.
• Peralatan audio video untuk kegiatan di luar kantor.
• Perpustakaan
• LAN (Local Area Network)
• Alat-alat tes
• Program-program scoring, assessment dan bank data SDM.
3. Dukungan Dana
Untuk dukungan dana, salah satu contoh yang mungkin bisa dijadikan acuan adalah BPKP yang menggunakan dana bantuan dari ADB Loan No. 1620-INO melalui Proyek Peningkatan Kinerja Aparatur Pengawasan untuk membangun dan mengembangkan Management assessment Center BPKP mulai awal 2001.
4. Organisasi
Meskipun telah ada personil yang kompeten serta dana dan sarana yang memadai, namun bila secara organisasi tidak memiliki peran dan fungsi yang resmi dan diakui maka dapat dipastikan Assessment Center Departemen Perhubungan tidak akan eksis. Untuk itu sangatlah diperlukan dukungan dan payung hukum dari pimpinan sehingga Assessment Center bisa melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal. Selain itu, kepercayaan oleh pimpinan atas hasil kerja assessment Center sangat diperlukan dan selanjutnya benar-benar dijadikan sebagai salah satu acuan utama dalam pengambilan keputusan kepegawaian.

Selasa, 02 September 2008

Coret-coretan


Sekilas Sejarah Perkeretaapian di Indonesia



Awal dari sejarah perkeretaapian di Indonesia adalah sebuah prosesi upacara pencangkulan pertama (kalau sekarang peletakan batu pertama) pembangunan Jalur rel kereta api di desa Kemijen, sebuah desa di Jawa Tengah pada tanggal 17 Juni 1864 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J Baron Sloet Van Den Beele. Jalur rel kereta api yang dibangun ini menghubungkan desa Kemijen dengan desa Tanggung sejauh 26 Km. Pelaksana pembangunan jalur rel kereta api ini adalah sebuah perusahaan swasta kereta api Belanda bernama Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij" (NV. NISM) yang dipimpin oleh seorang insinyur bernama J.P de Bordes. Jalur rel kereta api ini dibuka untuk umum pada tanggal 10 Agustus 1867, yang kemudian berkembang seiring permintaan masyarakat pengguna jasa dan akhirnya pada tangal 10 Pebruari 1870 menjadi penghubung kota Semarang dan kota Surakarta dengan lintasan rel sejauh 110 Km.
Sukses pembukaan jalur kereta api oleh NV. NISM ini akhirnya menarik investor-investor lain untuk menanamkan modalnya dalam pembangunan jalur-jalur kereta api di daerah lainnya. Hal ini terlihat dari perkembangan panjang lintasan rel kereta api sejauh 405 Km pada tahun 1880, kemudian berkembang lagi menjadi 1.427 Km pada tahun 1890 dan pada tahun 1900 menjadi 3.338 Km. Jumlah jalur rel kereta api ini termasuk pembangunan jalur-jalur rel kereta api di luar Jawa seperti di Aceh yang di bangun pada tahun 1874, Sumatera Utara tahun 1886, Sumatera Barat pada tahun 1891 dan sumatera Selatan tahun 1914. Bahkan di pulau Sulawesi-pun juga telah dibangun jalur rel kereta api sepanjang 47 Km yang menghubungkan kota Ujung Pandang dan Kota Takalar yang mulai dioperasikan pada tanggal 1 Juli 1923, sedangkan jalur Ujung Pandang ke Maros tidak sempat diselesaikan pembangunannya. Untuk daerah-daerah lainnya sudah direncanakan pembangunannya seperti dengan dilakukannya studi pembangunan jalur rel kereta api yang menghubungkan kota Pontianak dan kota Sambas sejauh 220 Km, serta pembangunan jalur kereta api di Bali dan Lombok.
Berpindahnya kekuasaan Belanda ke tangan tentara Jepang di Indonesia membawa pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan transportasi kereta api khususnya pada sarana dan prasarana yang telah di bangun pada masa pendudukan Belanda. Sebagai gambaran, total panjang lintasan rel kereta api di Indonesia sampai dengan tahun 1939 adalah 6.811 Km, namun pada tahun 1950 panjang jalur rel kereta api berkurang menjadi 5.910 Km. Berarti sekitar 900 Km rel kereta api raib pada periode tahun tersebut. Diperkirakan pada masa pendudukan tentara Jepang rel-rel tersebut dbongkar oleh tentara Jepang untuk dipindahkan ke Negara Asia lain yang diduduki tentara Jepang seperti Burma. Namun, masa pendudukan tentara Jepang di Indonesia tidak hanya diwarnai pencurian rel kereta api saja, mereka juga membangun jalur rel kereta api baru yaitu jalur Bayah – Cikara sepanjang 83 Km serta jalur kereta api Muaro – Pekanbaru sepanjang 220 Km yang memakan banyak korban para pekerja romusha karena jalur ini melewati wilayah-wilayah berhutan lebat, rawa-rawa serta sungai yang berarus deras.
Sedangkan awal sejarah pengelolaan transportasi kereta api oleh bangsa kita sendiri adalah pada tanggal 28 September 1945 dengan pengambilalihan kekuasaan perkeretaapian dari tentara Jepang oleh karyawan-karyawan Kereta Api yang tergabung dalam Angkatan Moeda Kereta Api (AMKA). Peristiwa pengambilalihan ini ditandai dengan pembacaan pernyataan sikap oleh seorang pemuda bernama Ismangil dengan dukungan anggota AMKA lainnya yang menyatakan bahwa mulai tanggal 28 September 1945 kekuasaan perkeretaapian berada di tangan bangsa Indonesia. Orang Jepang tidak diperkenankan lagi campur tangan dengan urusan perkeretaapian di Indonesia. Pada tanggal itu pula dibentuklah Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI), dan tanggal itu pulalah yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Hari Kereta Api di Indonesia.
Setelah tanggal itu mulailah sejarah transportasi kereta api dikelola oleh bangsa kita sendiri. Pada tanggal 15 September 1971 Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) berubah menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), kemudian pada tanggal 2 Januari 1991 berubah lagi menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (PERUMKA) dan selanjutnya berubah lagi menjadi PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) dan akhirnya sekarang menjadi PT. Kereta Api (Persero). Satu hal yang menjadi catatan untuk periode pengelolaan transportasi setelah kemerdekaan RI ini adalah kebijakan untuk fokus pengelolaan pada jalur-jalur kereta api di pulau Jawa saja. Hampir semua jalur rel kereta api di luar Jawa tidak dioperasikan. Saat ini hanya jalur Kereta Api di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan saja yang masih beroperasi. Bahkan terdapat beberapa jalur-jalur rel kereta api di pulau Jawa yang sudah tidak dioperasikan, sehingga total panjang rel kereta api yang dioperasikan saat ini mungkin berkurang banyak dari jumlah yang ada pada jaman pendudukan Belanda. Namun, periode paska kemerdekaan juga diwarnai dengan beberapa pembangunan sarana dan prasarana kereta api antara lain pembangunan jalur KRL Jabotabek untuk menyediakan mass rapid transportastion bagi komuter-komuter dari Bogor, Bekasi, dan Tangerang yang setiap hari bekerja di kota Jakarta, penyediaan gerbong-gerbong serta lokomotif berbagai kelas yang melayani jalur utara dan selatan pulau Jawa, serta peningkatan kualitas jalur kereta api di pulau Jawa oleh Pemerintah antara lain dengan pembangunan jalur double track dan double-double track di jalur utama kereta api di pulau Jawa.
Dengan sejarah yang sangat panjang, dari tahun ke tahun angkutan kereta api selalu menjadi favorit masyarakat Indonesia untuk mengantar ke tempat tujuan bepergian. Seharusnya pengalaman yang cukup banyak ini bisa menjadi modal bagi Pemerintah untuk bisa membangun perkeretaapian Indonesia yang lebih modern dan bisa menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat. Pemerintahpun saat ini telah membentuk Direktorat Jenderal Perkeretaapian yang diharapkan menjadi titik awal paradigma baru pengelolaan transportasi kereta api di Indonesia. (Wasis)

Kamis, 12 Juni 2008

Coret-coretan

JOB SATISFACTION, JOB CHARACTERISTICS
AND ORGANIZATIONAL COMMITMENT
FOR THE INDONESIAN MINISTRY OF COMMUNICATION



The research focused on job satisfaction, job characteristics, and organizational commitment of Indonesian Communication Ministry employees. Job satisfaction is refers to the attitude and feelings people have about their work (Armstrong, 1988). Positive and favorable attitudes towards the job indicate job satisfaction, negative and unfavorable attitudes towards the job indicate job dissatisfaction. The model of the job satisfaction is based on the theory of facet and overall job satisfaction that overall-global job satisfaction of employee is determined by some combination of all facets satisfaction feelings. Facets used in the this research are nine facets job satisfaction of Spector (1997): pay, promotion, supervision, fringe benefits, contingent reward, operating condition, coworkers, nature of work, communication. While, based on the job characteristics theory (Hackman and Oldham 1975, 1980) this research derived a theoretical framework for explaining empirical relationships between job characteristics and outcomes. This approach posits that core characteristics of jobs induce psychological states that in turn lead to job satisfaction, job performance, motivation and turnover. Job characteristics covers five cores of job that affect job attitudes and behavior: skill variety, task identity, task significance, autonomy, and job feedback. In addition, other theories strongly proposed that an important effect of job satisfaction is organizational commitment (Hrebeniak and Alluto,1972; Bluedorn, 1982; Clegg, 1983; Mathieu and Zajac, 1990). It is largely assumed that employees with higher job satisfaction will be more committed to the organization. While employees’ organizational commitment positively affects their performance, productivity and organization tenure and negatively correlated to turnover, withdrawal behavior, and absteein.
According to theories discussed, a working model of this research can be derived from the correlation of facets of job satisfaction to overall-global job satisfaction, job satisfaction and job characteristics to organizational commitment (figure 1). Facets job satisfaction covers several factors that influence the degree of overall-global job satisfaction. The facets positively affect job satisfaction, the higher a person gets from the facets of job satisfaction the higher the level of job satisfaction (hypothesis 1). Meanwhile, job characteristics also have an important influence to job satisfaction. It positively affects job satisfaction (hypothesis 2). The job characteristics induce psychological states that turn lead to job satisfaction. In addition, one of the consequences of job satisfaction is organizational commitment, a person with higher job satisfaction will be more committed to the organization (hypothesis 3).


MEASURES
This research used four scales to measure the research variables: job satisfaction facets, global job satisfaction, job characteristics, and organizational commitment (The Job Satisfaction Survey, the Michigan Organizational Assessment Questionnaire, the Job Diagnostic Survey, and The Porter, Steers, Mowday, and Boulian Organizational Commitment Scales).

RESULTS
The results of this study indicate that employees are satisfied with their job in supervision, coworkers, nature of work, and communication. In contrast, employees seem to have low level of satisfaction with pay and promotion opportunities. It also proposed that employees have a fairly high level of job characteristics. It means that generally employees have positive job attitudes and behaviors regarding the five core job characteristics. Employees consider that they have used a variety of skills and talents in doing their job. The results also indicate that employees can do a complete job from beginning to end with visible outcomes and give a substantial impact to others. Employees also have a freedom and independence in doing their job and could receive a clear feedback about the job that have done. Results for organizational commitment also show a fairly high commitment to the organization. Generally, employees are committed to the organization in term of the three primary components of organizational commitment: a strong belief and acceptance of the organization’s goals and values, a willingness to exert considerable effort on behalf of the organization, and a strong desire to maintain membership in the organization.
The research also proposed that the correlation between facet job satisfaction and global job satisfaction is significant. Each facet of job satisfaction significantly influences the level of global job satisfaction. Natures of work and benefit have the most important influence on global satisfaction. Then, supervision, contingent reward, and coworkers have a moderate effect on global job satisfaction.
Results on the correlation between job characteristics and job satisfaction indicated a significant effect for job characteristics on job satisfaction. Each job characteristic (skill variety, task identity, task significance, autonomy, and job feedback) contribute an equal amount to job satisfaction. It consistent with the main theory of job characteristics (Hackman and Oldham, 1975) that the core characteristics of jobs induce psychological states that in turn lead to job satisfaction, job performance, motivation and turnover.
Corresponding to the job satisfaction-commitment theories that satisfied workers are more committed to an organization, this research produced a consistent result for correlation between job satisfaction and organizational commitment. An employee’s organizational commitment (strong belief and acceptance of the organization’s goals and values, willingness to exert considerable effort on behalf of the organization, strong desire to maintain membership in the organization) positively influences an employee’s job satisfaction.
Generally, the results of this research reflect a specific condition of a public sector organization. According to this research’s variables, there are some differences between the public and private sectors in job external factors that influence employees’ job satisfaction. Generally, the private sector offers higher pay and benefits to employees than public sector organization. Under this circumstance, private sector employees tend to have higher pay satisfaction. On the other hand, public sector employees have a higher chance for career opportunities and tend to have higher satisfaction regarding retirement benefits and job security. Moreover, under the current economic circumstances of Indonesia, employment in the public sector is stable. However, the private sector sometimes is forced to downsize or rationalize in order to deal with difficult economic conditions. This condition causes the organizational commitment of public sector employees to be higher than the private sector. Private sector employees focus on pay and immediate benefits. Some studies show that rapid job change is common among Indonesian employees in the private sectors. Ichimura (1985) proposed that if the chance arises (in the form of payment or position), Indonesian middle managers would think nothing of leaving their company.
According to the results, the research suggested that management might be able to increase the level of job satisfaction in the organization by increasing satisfaction with payment and promotion. In the view of promotion, management could reevaluate its promotion system and promotion planning. It consists of several elements, such as organizational policy, identification of promotion channel, selection and appraisal, training and development, communication and centralized record and coordination (Beach, 1980). Meanwhile, management should reevaluate whether the payment system and payment policy are appropriate to the recent employees’ requirements. Surely, it should be concerned with both external and internal payment requirements. Internal requirements are associated with whether pay is appropriate to the job itself, and external requirements relates to whether pay is appropriate to the external socio-economic condition of employees.
The results also suggested management to give a more attention to the nature of work and benefit because they contribute the highest influence on employee’s job satisfaction. According to the influence of job characteristics on employee job satisfaction, management should also be concerned with the five core job characteristics (skill variety, task identity, task significance, autonomy, and job feedback) in order to get effective outcomes from employees. One way of addressing this could be through job design and job analysis. One important component of the modern effort to improve productivity and the quality of work life has been to emphasize job design (Milkovich and Boudreau, 1991). Through job design, management could integrate work content, qualifications, and rewards for each job in a way that meets the needs of employees and the organization. Meanwhile, through job analysis, management could determine complete information about a specific job. It includes a job description that contains job items condition (identification of the task performed, the equipment utilities, the materials, products or services involved, the duties, location/environment, supervision given or received, working condition, hazards) and job specification that contains human qualifications necessary to do the job (education, experience, training, judgment, initiative, physical effort, physical skill, responsibilities, communication skill, and emotional characteristics).
This study identified job satisfaction and it correlation with nine facets of job satisfaction, job characteristics, and organizational commitment among employees of the Indonesian Ministry of Communication. Beneficially to the management if any future studies that deeply discuss and explore each factor, which influence employee’s job satisfaction. It is also suggested that further study can identify other factors that relate to individual factors related to job satisfaction, such as personality, self esteem, affectivity, emotional condition, and life satisfaction.

Jumat, 02 Mei 2008

Uneg-Uneg

Ada Apa dengan SDM Perhubungan?




“SDM tak berkualitas biang kecelakaan transportasi udara”, demikian judul artikel di sebuah situs berita nasional. Menyitir kata-kata dari Prof. Oetaryo Diran, Juru Bicara Timnas Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi bahwa kira-kira 70-80 persen penyebab kecelakaan dalam 10 tahun selama beliau menjabat Ketua KNKT adalah masalah SDM. Untuk maskapai udara, kekurangan SDM merupakan dampak negatif kebijakan pemerintah dalam deregulasi penerbangan pada 2001 yang diikuti dengan menjamurnya maskapai penerbangan dengan jumlah pesawat yang meningkat drastis. Namun, peningkatan ini tidak diikuti dengan peningkatan jumlah maupun mutu SDM-nya.
Sumber Daya Manusia memainkan peran yang krusial dalam aktivitas sebuah organisasi. Jika diruntut-runtut pasti semua akan berakhir ke personil yang melakukan kegiatan organisasi. Namun, dari kejadian demi kejadian kecelakaan transportasi yang kita alami beberapa waktu ini, aspek SDM selau muncul dan menjadi sorotan belakangan. Sorotan lebih banyak mengarah ke aspek sarana dan prasarana serta cuaca yang lebih memungkinkan untuk dijadikan kambing hitam. Pesawat, kapal, atau bis yang sudah tua, panjang landasan bandara atau kondisi jalan yang rusak, , serta cuaca yang buruk selalu mewarnai alasan-alasan yang menjadi penyebab kecelakaan transportasi kita. Lebih memungkinkan untuk dijadikan kambing hitam karena mereka semua benda mati yang tidak akan menjawab atau bereaksi jika dikatakan salah dan harus direnovasi atau diperbaharui.
Masalah SDM yang mengemuka saat ini ibarat pecahnya bisul yang sudah tertahan begitu lama dari sebuah rangkaian problem dalam pengelolaan SDM mulai pihak regulator yang akhirnya merembet ke SDM operator-operator transportasi. Namun sekarang bukan saatnya untuk mencari-cari siapa yang patut disalahkan. Yang terbaik adalah marilah kita merefleksi dan mengkoreksi diri bagaimana manajemen SDM Departemen Perhubungan berjalan selama ini. Sebagai contoh, rekrutmen, sudahkah dilakukan sesuai kebutuhan dan perencanaan SDM Departemen Perhubungan? sudahkah proses rekrutmen dilaksanakan secara fair dan bebas dari KKN? Kemudian untuk penempatan, rotasi dan promosi, apakah sudah memenuhi prinsip the right man on the right place? Masihkah kita anut prinsip like and dislike dalam penempatan pegawai? Masihkah prestasi dan kompetensi pegawai dikalahkan kepentingan lain? Coba kita koreksi ada berapa posisi jabatan yang telah diduduki seorang pejabat lebih dari lima atau bahkan mungkin enam, tujuh, delapan, sepuluh tahun?
Meskipun berat untuk mengatakan tidak ada kata terlambat (karena “mungkin” kita sudah terlambat atau lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali) untuk melakukan perbaikan mulai dari aspek-aspek dasar seperti beberapa contoh di atas. Perbaikan yang bersifat sistematis hendaknya segera kita mulai, karena apa yang telah kita lakukan selama ini untuk merespon banyaknya kecelakaan transportasi hanyalah bersifat here and now saja. Namun, semua kembali kepada pelaksana tugas Departemen Perhubungan, masih adakah kemauan dan keberanian untuk melakukan perbaikan dan perubahan?


Senin, 03 Maret 2008

Coret-coretan

SDM DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DAN
KEMUNGKINAN REDESIGN PENGELOLAANNYA




Departemen Perhubungan sebagai Departemen yang memiliki peran strategis sebagai penyelenggara tugas pemerintah di bidang perhubungan, Departemen Perhubungan diharapkan dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan optimal. Pengelolaan SDM, meski tetap terus berjalan seiring dengan kegiatan perhubungan namun masih mengisyaratkan adanya stagnansi yang mengarah ke kurang optimalnya SDM perhubungan.
Lemahnya pengelolaan SDM akan berdampak negatif pada performance Departemen Perhubungan yang secara nyata tampak:
1. Output pelayanan publik yang kurang memuaskan
2. Pemborosan keuangan negara
3. Praktek KKN
Dengan jumlah pegawai sebanyak 27.235 orang, Departemen Perhubungan membutuhkan pengelolaan SDM yang bisa secara optimal mendayagunakan potensi pegawai dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dikatakan bahwa manajemen PNS diarahkan :
1. Menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna;
2. Agar PNS bekerja secara profesional, bertanggung jawab, jujur dan adil;
3. Pembinaan PNS didasarkan kepada sistem prestasi kerja dan karir dengan titik berat pada sistem prestasi kerja.
Secara Yuridis, ditambah dengan Peraturan-peraturan Pemerintah di bawahnya, pengelolaan Pegawai Negeri Sipil sudah cukup sempurna dan baik, namun hal tersebut tampaknya hanya sebatas retorika saja dimana implementasinya sangat jauh dari apa yang diharapkan.
Salah satu tolok ukur kinerja yang akan digunakan untuk melaksanakan tugas 5 tahun ke depan adalah Rencana Strategis Departemen Perhubungan 2005-2009. Dalam Renstra tersebut tersurat juga betapa pentingnya pengelolaan SDM Perhubungan :
1. Bab II. A. 3. a. Sumber Daya Manusia
…..Pengelolaan SDM Perhubungan saat ini mulai dilakukan secara terencana dengan berdasar kepada standar kompetensi, khususnya dalam hal pola karir, pola mutasi dan pola pelaksanaan diklat. Dalam rangka meningkatkan kinerja pengelolaan SDM pada tahun 2003 telah diselesaikan penyusunan data base kepegawaian berbasis komputer.

2. Bab IV. E. 1. Kelemahan dalam Tata Pemerintahan yang baik.
….Kurangnya pemahaman aparatur terhadap fungsi pelayanan publik dan keterpaduan pelayanan jasa transportasi mengakibatkan terjadinya ekonomi biaya tinggi.
....Terdapat kendala kelembagaan yang menghambat berkembangnya sistem transportasi antar moda yang terpadu, hal ini lebih disebabkan kultur aparatur yang masih cenderung menggunakan pendekatan pasial dan sektoral untuk kepentingan jangka pendek. Terbatasnya kesempatan penggunaan teknologi pada pelayanan transportasi karena terbatasnya dana dan keterbatasan sumber daya manusia, serta berkaitan dengan masalah nasional dalam penyediaan kesempatan kerja.
....serta SDM yang berkualitas kurang baik dari segi kemampuan maupun perilakunya dan cenderung tidak terdistribusi dengan baik.

Dua butir cuplikan dari Renstra Perhubungan 2005-2009 tersebut akan memberikan perbaikan yang cukup signifikan bagi pengelolaan SDM Perhubungan. Namun sekali lagi dengan catatan hal tersebut bukan retorika saja, tetapi harus segera ada follow-up implementasi dalam bentuk Rencana Kegiatan yang memaparkan pokok-pokok pikiran tersebut.
Peluncuran Renstra 2005-2009 oleh Bapak Menteri perhubungan ini hendaknya dapat dijadikan momentum untuk melakukan pembenahan di sektor pengelolaan Kepegawaian Departemen Perhubungan. Hal ini dapat dilaksanakan dengan Redesain Pengelolaan SDM Departemen Perhubungan yang melibatkan semua unit Dephub dengan fokus mengimplementasikan Peraturan Perundangan Kepegawaian dan Renstra Dephub 2005-2009 di sektor Kepegawaian.

Kegiatan-kegiatan yang perlu segera dirancang adalah:

1. Sistem Informasi Kepegawaian

Sistem informasi kepegawaian merupakan kunci pertama pengelolaan SDM bagi sebuah organisasi sebagai dasar untuk melakukan personell treatment selanjutnya. Dengan sistem informasi kepegawaian yang tertata dengan baik, organisasi bisa mendapatkan informasi apa saja yang berkaitan dengan pegawai sehingga semua program mulai dari perencanaan SDM, recruitment, pengembangan pegawai, pengembangan karir sampai dengan program pensiun dapat dilaksanakan dengan optimal dan tepat sasaran. Sebuah Bank Data Kepegawaian yang lengkap dapat dirancang dengan melibatkan Bagian/SubBagian Kepegawaian setiap Sub unit Dephub.

2. Perencanaan SDM
Perencanaan SDM berkaitan dengan tugas dan desainnya yang secara sistematis meramal kebutuhan pegawai bagi organisasi. Dengan perencanaan SDM yang baik sebuah organisasi bisa:
- melakukan koordinasi yang baik dengan program-program SDM lainnya (rekrutmen baru, rotasi, promosi dsb)
- Mengoptimalkan fungsi SDM
- Menyesuaikan kegiatan SDM dengan Tujuan organisasi di masa depan
- Efisiensi keuangan dan waktu
- Membantu pencapaian output secara lebih optimal
Didukung dengan adanya bank data kepegawaian pada butir 1 di atas, perencanaan kepegawaian bisa diawali dengan melakukan audit SDM yang meliputi job analisis terhadap unit-unit Departemen Perhubungan, yang pada akhirnya memberikan informasi menyeluruh tentang tugas dan SDM (beban kerja, tempat kerja, prosedur kerja, kepuasan kerja dsb).
Perencanaan SDM dapat dilakukan dengan dasar data-data tersebut di atas. Dengan pertimbangan data-data tersebut, bisa dilakukan pembenahan masing-masing unit untuk mengatasi kelemahan yang ada apakah dengan redesain prosedur kerja, redesain struktur organisasi, penambahan/pengurangan pegawai atau pembenahan menuju “The right man on the right place”.

3. Pengembangan SDM

Tanpa pengembangan SDM yang tepat, sebaik-baiknya kualitas SDM yang dimiliki akan tetap stagnan dan tidak optimal menghasilkan output hasil kerja yang sesuai harapan. Perlu digaris bawahi bahwa pendidikan dan latihan yang tepat adalah program yang sesuai dengan kebutuhan seorang pegawai dalam rangka menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
Hal ini dapat dilakukan dengan memperjelas aturan main serta koordinasi yang matang antara Badan Diklat, Biro Kepegawaian dan unit-unit Departemen Perhubungan.

4. Pola Karir

Selain pengembangan SDM melalui pendidikan dan latihan, pengelolaan pola karir merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengembangkan kompetensi pegawai seiring dengan waktu pengabdian, kemampuan, dan pengalaman yang juga semakin bertambah. Kombinasi antara kedua jalan ini diharapkan secara sinergis dapat mengembangkan kompetensi pegawai dalam berkarir dan melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal.
Secara umum karir pegawai dapat di gambarakan sebagai berikut:

1. Karier pegawai di lingkungan Departemen Perhubungan mengandung pengertian adanya kemungkinan yang terbuka bagi PNS dalam hal mendapatkan kedudukan/jabatan tertentu, kenaikan pangkat, kesempatan memasuki pendidikan dan pemindahan serta giliran penugasan.
Tujuan lain agar PNS mengetahui dengan jelas gambaran umum pengembangan selama pengabdiannya.
Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan dedikasi dalam pelaksanaan tugasnya serta dapat secara aktif ikut merencanakan kariernya dalam lingkup kebutuhan organisasi Departemen Perhubungan.
2. Pada dasarnya karier seorang pegawai dimulai saat pegawai yang bersangkutan diangkat sebagai PNS.
3. Penentuan karier ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan psikologi (yang memantau bakat dan potensi) minat pegawai (melalui angket), dan kebutuhan organisasi Departemen Perhubungan.
Pola dasar karier PNS Departemen Perhubungan dapat digambarkan dalam bentuk pola karier umum dan khusus.
a. Pola Karier Umum
Memberikan gambaran umum tentang pengembangan tugas, yang dibagi dalam 4 (empat) periode pengembangannya, yaitu :
1) Periode pengembangan dasar pegawai, berlangsung pada masa kerja pegawai 0 – 7 tahun.
2) Periode pengembangan profesional, berlangsung pada masa kerja 8 – 15 tahun.
3) Periode bakti dan pengembangan lanjutan, berlangsung pada masa kerja 16 – 22 tahun.
4) Periode dharma bakti, berlangsung pada masa dinas 23 – 30 tahun.

Dalam tiap periode pengembangan digambarkan pertumbuhan jenis dan sifat kepemimpinan, pendidikan, penugasan dan kepangkatan yang dapat dicapai.
Dalam garis besar bidang penugasan dibagi dalam bidang-bidang : staf, operasional, manajerial, widyaiswara dan lain-lain.
Jenis pendidikan meliputi pendidikan bidang umum, pendidikan bidang khusus dan pendidikan lain-lain, yang digambarkan dalam 4 periode serta jenjang kepangkatan dibatasi untuk golongan III/a sampai dengan IV/e.
Penugasan dalam jabatan-jabatan pada fungsi Departemen Perhubungan disesuaikan dengan persyaratan-persyaratan jabatan yang berlaku dan kebijaksanaan pimpinan Departemen Perhubungan, dengan dasar pemikiran tercapainya efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas, rasa keadilan dan keselarasan pengembangan karier pegawai dari tiap-tiap unit dalam lingkup organisasi Departemen Perhubungan secara keseluruhan.

b. Pola Karir Khusus
1) Selaras dengan pelaksanaan pembinaan personil di dalam penugasannya tidak terbatas hanya pada lingkungan Unit Pemerintah, maka diperlukan adanya pola karir PNS yang dipekerjakan dan diperbantukan diluar Departemen Perhubungan.
2) Pola dasar karir PNS pada fungsi tersebut memberikan gambaran umum tentang pengembangan tugasnya. Unutk itu perlu pula dirinci tentang pertumbuhan jenis, sifat, kepemimpinan, pendidikan, penugasan dan pengangkatan yang dapat dicapai.
3) Dalam garis besar penugasan tersebut dapat dibagi dalam 4 BUMN, yaitu BUMN sektor Darat, Laut, Udara dan Antar Departemen. Tingkat jabatan dimulai dari jabatan 1 (satu) tingkat dibawah Direksi, Direksi, Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas.
4) Jenis pendidikan meliputi pendidikan umum transportasi, transportasi darat, laut dan udara dengan jenjang kepangkatannya dimulai dari III/c sampai dengan IV d.

5. Assesment Center

Pengeloalaan SDM sangat memerlukan informasi-informasi aktual dan detil tentang pegawai, tugas, dan aspek eksternal lainnya. Untuk itu fungsi assesment center sangat diperlukan untuk melakukan evaluasi terhadap hal-hal tersebut untuk menentukan arah dan bentuk treatment yang akan diberikan.
Secara umum dapat disampaikan tugas-tugas pokok dari assesment center :
1. Melakukan tugas Psikotes dimana seorang pegawai mendapatkan tes psikologi minimal tiga kali :
 Saat masuk menjadi CPNS
 Saat menduduki jabatan awal
 Saat menduduki jabatan menegah
Setiap level jabatan tersebut diberikan spesifikasi psikotes yang berbeda-beda sesuai aspek-aspek yang dibutuhkan.
2. Melakukan evaluasi kepegawaian yang diperlukan untuk mengetahui kondisi aktual tentang tugas dan faktor-faktor yang berpengaruh, seperti job analisis, job description, kepuasan kerja dsb.
Informasi-informasi yang diperoleh assesment Center diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan yang akurat bagi setiap pengadaan, penempatan, rotasi, dan promosi yang akan dilakukan.

6. Pembinaan Kesejahteraan dan Disiplin pegawai

Perlu segera dirumuskan implementasi dari Juklak dari Pembinaan Kesejahteraan dan Disiplin Pegawai di Lingkungan Dephub (KM. 90 tahun 2004) sehingga peraturan tersebut tidak menjadi sebuah aturan tertulis saja yang tidak ada implementasinya.
Hal ini sangat memerlukan masukan dari pihak-pihak yang tergabung dalam Tim untuk merancang program-program yang baru dan menarik, karena yang dilakukan oleh masing-masing unit selama ini masih berupa program-program monoton dan “tidak populer”, serta belum mengarah kepada substansi dari UU 43 tahun 1999.

7. Perancangan lingkungan dan budaya kerja yang kondusif

Dengan pemahaman kita terhadap lingkungan serta budaya kerja yang telah kita jalani bertahun-tahun tentu saja bisa diambil evaluasi sisi positif yang perlu kita kembangkan serta sisi negatif yang harus kita hilangkan. Dengan program-program yang inovatif bisa dirancang program-program untuk mendukung adanya lingkungan kerja dan budaya kerja yang kondusif bagi pegawai sehingga pegawai bisa bekerja dengan baik dan akhirnya menghasilkan output yang optimal.

Minggu, 02 Maret 2008

Cerita-ceritaku

TOILET PARALEL


Cerita konyol ini adalah sisa-sisa memori masa SMA saya yang tidak akan pernah terlupakan, dan mohon maaf bagi pembaca yang mungkin agak jijai membayangkannya. Suatu ketika kami kemping di salah satu perkemahan. Perkemahan ini memiliki fasilitas tolilet umum yang berderet satu dengan yang lainnya. Nah, dua dari toilet-toilet inilah yang menjadi pokok permasalahannya. Kejadiannya bermula ketika pagi hari dorongan dari perut untuk dikeluarkan sudah tak tertahankan lagi, maka saya segera menuju ke salah satu toilet tersebut. Ternyata, (saya ketahui setelah mengalami kejadian ini) setiap dua toilet di sini saluran pembuangan ke bawah (septitank) diparalel/dijadikan satu (berbentuk huruf Y). Permasalahan utama yang pagi itu tidak saya ketahui adalah saluran utama untuk toilet yang saya gunakan dan toilet samping saya (yang juga sedang digunakan orang lain) mampet!! Maka dapat dibayangkan hubungan saluran yang ada tinggallah hubungan antar dua toilet ini. Larinya air dan “barang” yang terbawa hanya ke toilet yang saya gunakan atau ke toilet sebelah saya. Dan sialnya orang yang di toilet sebelah telah selesai lebih dahulu menunaikan hajat. Dan burr…akhirnya saya kaget bukan kepalang ketika “barang” yang telah saya luncurkan tiba-tiba berlompatan naik bersama aliran air dari bawah… sampai sekarang saya mebayangkan orang di toilet sebelah pasti menyiram toiletnya dengan satu ember air dengan mantap dan kuatnya, ha, ha, ha……. Berlompatanlah saya menghindari serangan yang sangat mendadak dan dari tempat yang benar-benar tak terduga.
HOBBY

MANCING KOTES

Dalam benak kita kalo yang namanya mancing adalah pegang joran, nyelubin kail dengan umpan di sungai, kolam atau laut ditungguin lama, begitu ada ikan yang nyambar umpan kita tarik, kadang kalo lagi untung bisa dapat banyak ikan tapi kalo lagi apes seharian nggak dapat seekor ikanpun. Bahkan salah satu alasan terkuat kenapa memancing tidak menarik bagi beberapa orang adalah kebosanan menunggu ikan menyambar umpan kita. Nah, mancing yang akan saya ceritakan ini agak beda dengan prinsip-prinsip mancing pada umumnya seperti di atas.
Kotes adalah ikan sejenis gabus atau kutuk dalam bahasa jawa namun ukurannya lebih kecil (panjang ikan dewasa + 10-15 Cm) dan banyak mendiami kali-kali kecil atau sawah-sawah di jawa. Ikan ini, selain goblog juga termasuk karnivor ganas yang gemar memakan ikan kecil lain. Saking ganas dan goblognya, ikan ini tanpa ba-bi-bu akan langsung menyantap kail plus cacing yang kita sodorkan ke mukanya. Di sekitar tempat tinggal saya di Yogyakarta, ikan kotes hidup di lubang-lubang pinggir kali-kali kecil atau pematang-pematang sawah dan kemunculannya tidak kenal musim. Dari pengalaman yang saya lalui dalam memancing ikan ini,secara khusus terdapat dua metode memancing ikan kotes ini, yaitu single joran dan multi joran (istilahnya asal aja, he, he…).
Sesuai namanya, dengan single joran kita hanya membawa satu joran dan satu mata kail dan cacing tanah sebagai umpan. Metode ini menuntut kita untuk aktif berjalan sepanjang aliran sungai, karena kita harus melihat penampakan ikan kotes, baru kita sodorkan umpan dimukanya. Atau kalo tidak bisa melihat ikan kotes bisa dengan untung-untungan kita celup dan goyang-goyang (jangan berpikir ngeres…) umpan di muka lubang-lubang pinggir kali atau sawah. Begitu melihat penampakan ikan kotes dapat dipastikan ikan itu akan menyambar umpan kita. Namun begitu disambar, jangan langsung kita tarik karena seringkali umpan belum di”kunyah” oleh ikan sehingga mata kail bisa langsung tertarik dan terlepas tanpa nyangkut di mulut kotes. Jadi kuncinya, tunggu sesaat sampai si ikan mengunyah cacing umpan baru kita tarik. Bahkan seringkali saya terlalu lama menunggunya sehingga mata kail tertelan terlalu dalam dan kesulitan melepaskannya (tapi mendingan gini daripada lolos dengan menyedihkan…). Kelebihan dari metode ini adalah:
• Praktis (peralatan tidak banyak dan merepotkan)
• sekalian berolahraga (kadang saya bisa berjalan sejauh 3-4 Km mengikuti aliran kali).
• perawatan kulit (kata orang berjemur bisa menyehatkan (dan menggosongkan) kulit.
Sedangkan kelemahan metode ini adalah:
• Potensi mendapat ikan banyak terlewatkan, karena kadang di satu tempat ada banyak ikan (dalam satu lubang kadang bisa dihuni 10-an ekor kotes) dan hanya satu yang tertangkap (yang lain pada lari masuk lubang).
• Selain itu, jika berada dalam rombongan berjemur ikan ini lebih sensitif (ikan ini sering berjemur di depan lubang persembunyiannya sampil menunggu mangsa), jika ada satu yang kaget mendengar kedatangan kita, maka yang lainnya akan ikut-ikutan kaget dan lari.
Sedangkan metode kedua adalah multi joran, sesuai namanya metode ini membutuhkan banyak joran dan mata kail. Prinsip dari metode ini adalah dengan menetap agak lama di satu tempat yang kita perkirakan atau lihat banyak dihuni ikan kotes. Kita tinggal tebarkan kail-kail kita di tempat-tempat tersebut (bahkan di satu lubang yang agak besar bisa kita taruh 3 kail). Kalo lagi mancing dengan metode ini, saya membawa 10 joran yang siap saya sebar. Setelah kail-kail di pasang di lokasi-lokasi persembunyian kotes, kita tinggal menunggu dan sesekali mengecek apakah umpan sudah dimakan atau belum (usahakan penempatan umpan terlihat, sehingga kalo telah dimakan akan hilang dari tempat tersebut). Satu yang paling menyenangkan dari metode ini adalah jika umpan telah dibawa masuk ke dalam lubang dan kita telat mengetahuinya, nah proses menarik ikan dari lubang inilah yang asyik diiringi bunyi “kecopak-kecopek” ikan di dalam lubang yang sangat jelas (jangan ngeres lagi….). Begitu seterusnya jika satu area dianggap telah gak ada lagi ikan yang mau memangsa umpan, kita bergerak lagi mencari lokasi lain untuk menebar umpan-umpan kita.
Kelebihan dari metode ini:
• Potensi yang terlewatkan pada metode single joran bisa didapatkan lebih optimal (hasil lebih banyak)
• Relatif gak begitu capek jalan seperti metode single joran (nunggu sambil berteduh, makan & minum, he, he…)
Sedangkan kelemahannya adalah:
• Tidak praktis dan repot dalam membawa perlengkapan mancing.
• Boros kail (sering putus dimangsa yuyu/kepiting kali) Kadang umpan telah hilang dari tempat kita umpankan namun yang memangsa adalah yuyu dan dibawa masuk ke lubang).
• Ikan hasil tangkapan tidak segar karena banyak yang mati dibedah tenggorokannya untuk melepas kail yang tertelan (karena umpannya terlalu lama dimangsa).
• Tidak sehat (karena tidak jalan jauh dan berjemur, he, he...)
Terlepas dari kedua metode di atas, memancing ikan kotes menuntut kesabaran kita pada bagian akhir prosesnya, yaitu “mbetheti”, membersihkan sisik dan perut ikan yang kadang bisa ratusan ekor saya dapat. Namun jika telah digoreng bumbu bawang putih, disantap dengan nasi putih plus sambal mentah… wuihh….mak nyus rasanya menghilangkan kelelahan seharian berjalan menyusuri kali dan sawah.










Senin, 25 Februari 2008

HOBBY

BERBURU GARANGAN

Garangan (Musang) merupakan salah satu hewan yang menjadi musuh pemilik ayam di pedesaan. Hewan ini paling gemar memangsa ayam baik ayam yang ada di kandang maupun yang diumbar. Berbulu coklat dan lebat, hewan sebesar kucing ini bergerak sangat cepat dan paling lihai bersembunyi di semak-semak. Hewan ini bersarang di lubang di pinggir sawah atau perkampungan. Hewan ini termasuk cepat berkembangbiak, sekali beranak bisa tiga atau empat ekor sekaligus. Kadang ditemui hewan ini berburu mangsa secara berkelompok satu keluarga (jantan, induk dan 3 atau 4 anak yang masih muda). Salah satu mitos yang dipercaya di sekitar tempat saya (mungkin juga di tempat lain) jika menangkap seekor garangan dan ingin mengetahui reputasi si garangan dalam membunuh korbannya adalah dengan membedah perutnya dan melihat hati garangan tersebut, hitunglah ada berapa cabang hati yang tumbuh maka itulah jumlah ayam korban yang telah dimakannya.
Saya sering mendapat order dari para petani di sekitar rumah saya di Sleman, Yogyakarta untuk memburu garangan karena telah memangsa ayam-ayam di sebuah desa. Dulu, para petani sering membuat jebakan untuk garangan-garangan ini, tapi seiring bertambahnya waktu (atau mungkin karena pengaruh era globalisasi, garangan menjadi lebih pintar, he, he…) mereka tidak mau begitu saja masuk ke jebakan-jebakan tersebut. Nah, kalo sudah ada info semacam ini, dengan mantap saya dan partner (adik saya) mempersiapkan senapan kami. Waktu itu, jaman kuliah jadi duit masih cekak, senapan saya “hanyalah” sebuah Sharp Ace 4,5 mm buatan local dengan teleskop 4x32 tanpa merek sedangkan adik saya menggunakan senapan Benyamin buatan local 4,5 mm dengan teleskop Norconia kecil 4x25. Namun, ditangan kami senapan tersebut menjadi senjata yang sangat akurat dan menakutkan bagi korban-korban kami (??!!).
Laporan-laporan tersebut biasanya kita tindaklanjuti pada weekend-nya, dengan menyisir sekitar lokasi pemunculan garangan yang ditunjukkan orang-orang yang sering melihat. Penyisiran bisa mencapai radius 2-3 km2 karena memang sekitar itulah daya jelajah seekor garangan. Nah, kalo sudah bertemu dengan garangan dimaksud, meskipun hanya sekelebat misalnya garangan terlihat baru menyeberang jalan dengan berlari kencang dapat dipastikan garangan tersebut akan menjadi korban duet kami (bukan nyombong lho…he, he). Disinilah kunci dan strategi berburu garangan, sekejap setelah melihat penampakan garangan dan arah larinya, jangan langsung dikejar. Bagi pemburu-pemburu pemula (ha, ha…) setelah bertemu dengan garangan maka reaksinya adalah dengan sigapnya mengejar bak pasukan khusus, nah kalo dikejar seperti ini si garangan pasti tahu dan akan lari lebih kencang atau segera bersembunyi di semak dan tidak akan keluar-keluar untuk waktu yang lama. Begitu melihat penampakan seekor garangan, bak film-film detektif dengan pengkodean pembagian posisi penyergapan, saya dan adik saya segera menuju tempat masing-masing dengan berjalan santai (jangan tergesa-gesa) namun waspada melihat gerakan-gerakan. Biarkan garangan melakukan aktifitasnya secara normal adalah kunci utama penyergapan ini. Pilihlah satu tempat dan bersiaplah di tempat tersebut dengan waspada dan posisi senapan siap tembak. Nah, pemilihan tempat ini yang penting, karena tempat ini haruslah tempat yang strategis bisa melihat pemunculan si garangan dengan jelas. Kita harus tersembunyi namun bisa melihat kemunculan garangan. Yang paling strategis adalah posisi mengepung dari dua tempat, misalnya garangan terlihat memasuki sebuah petak sawah, maka kami berdua memilih tempat pada sudut petak sawah tersebut secara saling berseberangan. Dengan maksud kalo si garangan muncul di luar sisi manapun dari petak sawah tersebut maka salah satu dari kami pasti akan melihatnya (di pematang sawah). Nah kalo sudah pada posisi ini, dipastikan dalam waktu tidak lama garangan akan muncul, tinggal muncul di sisi saya atau partner saya. Ketika muncul biasanya garangan ini akan thingak-thinguk (menoleh kanan-kiri) untuk melihat situasi, nah timing inilah yang kami tunggu, pastikan kepala atau dada telah masuk target…Dess…(bunyi senapan angin begitu bukan dor, he, he…) kalo tepat pasti langsung mati hewan ini, namun kalo meleset ke bawah sedikit saja, ke perut misalnya, maka dapat dipastikan akan kehilangan buruan ini, karena pasti lari dengan sangat-sangat kencang….dan mungkin saja mati di lubang persembunyiannya atau tempat lain.