Jumat, 10 April 2009

Coretan-coretan

Auditor dan Manajemen Konflik



Kemampuan untuk menciptakan hubungan interpersonal yang efektif mutlak dimiliki oleh auditor, karena dalam pelaksanaan tugasnya selalu terdapat interaksi interpersonal yang menonjol mulai dengan sesama tim audit, dengan atasan, dengan auditan, sampai pihak-pihak lain yang berkaitan dengan proses audit. Salah satu aspek penting dalam kemampuan untuk menciptakan hubungan yang efektif tersebut adalah kemampuan dalam mengatasi konflik interpersonal (manajemen konflik). Apalagi profesi auditor merupakan salah satu profesi yang rentan menimbulkan potensi konflik di dalamnya. Terdapat tekanan-tekanan psikis (bahkan mungkin fisik) terhadap auditor dalam pengambilan keputusan yang berpotensi menimbulkan konflik. Adapun potensi konflik yang paling mungkin muncul adalah:

 Internal Tim Audit
Idealnya dalam sebuah tim harus selalu terdapat kerjasama, kekompakan dan kesamaan visi-misi yang selalu dipahami setiap anggota dalam rangka pencapaian tujuan bersama yang telah ditentukan. Namun, dalam praktiknya sering terjadi perbedaan-perbedaan yang pada akhirnya menimbulkan konflik antar anggota. Dalam sebuah tim audit kemungkinan munculnya konflik antar anggota tim audit (termasuk di dalamnya Pengawas, Dalnis dan Daltu) sangat terbuka terutama saat berada di lapangan dan telah mendapatkan temuan-temuan audit. Personel yang terlibat dalam sebuah audit adalah individu-individu yang berbeda baik tipe kepribadian, kemampuan kognitif, kompetensi, cara kerja serta (mungkin) ”orientasi pribadi” dalam audit yang dilakukan.

 Auditor – Auditan
Interaksi antara Auditor dan Auditan merupakan salah satu interaksi yang spesifik dimana peran lebih banyak dipegang oleh Auditor sehingga Auditor dituntut untuk bisa mengarahkan interaksi tersebut agar menjadi efektif. Di sisi lain, Auditan memiliki peran yang lebih kecil dalam konteks interaksi ini. Secara psikologis, Auditan berada pada posisi ”harus” mengikuti aturan main yang dipakai oleh Auditor. Kondisi inilah yang sangat rentan menimbulkan konflik antara mereka.

Secara umum, terdapat tiga prinsip manajemen konflik yang dijadikan pedoman untuk menghadapi konflik dalam berbagai konteks interaksi: bagaimana mencegah terjadinya konflik, bagaimana mengatasi konflik yang sudah terjadi serta bagaimana menjalin hubungan setelah terjadinya konflik.

Mencegah terjadinya konflik

Prinsip ini merupakan cara-cara yang paling efektif bagi para auditor untuk menghadapi konflik karena mencakup langkah preventif untuk meminimalkan/menghilangkan potensi konflik yang mungkin akan muncul. Seperti disebutkan di atas, kebersamaan merupakan aspek penting yang harus dipedomani setiap individu dalam menjalani interaksi dengan pihak lain.
Dalam frame konflik internal tim audit, bisa dilakukan dengan membangun sebuah tim audit yang solid dan kompak. Memang sebuah metode yang umum dan klise, tapi yang lebih penting adalah bagaimana cara dan strategi untuk menuju ke arah tersebut. Beberapa langkah yang bisa dijadikan pedoman untuk membangun tim audit yang solid:
 Pemahaman, kontrol diri serta komitmen bahwa kita adalah bagian dari sebuah tim, yang telah lebur dalam satu visi-misi dan tujuan, serta hilangkan kepentingan pribadi,
 Nomor satukan Komunikasi dan asertivitas (keterbukaan), semua hal bisa dibahas dengan prinsip win-win solution.
 Peran aktif dalam persiapan audit, jadikan penyusunan Program Kerja Audit sebagai sebuah ajang diskusi tentang aturan main serta apa, bagaimana, siapa dan dimana kegiatan yang dilakukan dalam proses audit.
 Peran aktif dari setiap angota untuk saling mengingatkan hal-hal di atas, sedangkan Ketua Tim harus bisa mengendalikan arah kerja tim agar selalu sesuai visi-misi dan tujuan yang telah disepakati.

Sedangkan dalam frame konflik auditor – auditan, langkah-langkah preventif yang bisa dilakukan auditor untuk meminimalkan potensi konflik dengan auditan adalah dengan penggalian informasi dan pemahaman terhadap kondisi pribadi auditan, seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan serta informasi-informasi tentang reputasi auditan. Secara umum, gambaran reaksi yang mungkin muncul dari auditan sebagai efek dari proses audit adalah sebagai berikut:

 Reaksi Frontal, dimana Auditan memunculkan reaksi menghadapi Auditor secara frontal, berani menyangkal pendapat atau temuan-temuan dari Auditor secara terbuka.
 Reaksi Escape, dimana Auditan memunculkan reaksi menghadapi Auditor dengan melarikan diri dari tanggung jawab atau bahkan tidak mau menemui Auditor dengan berbagai alasan. Reaksi ini bisa juga muncul dalam bentuk tidak mau bertanggungjawab atas kesalahan dan mengkambinghitamkan orang lain.
 Reaksi Cerdik, reaksi ini muncul dalam bentuk perilaku-perilaku cerdik dan taktis dari Auditan untuk menyangkal data atau temuan Auditor.
 Reaksi Pasrah, merupakan reaksi yang berbentuk sikap dan perilaku pasrah dan menyerah pada Auditor mau dibawa kemana arah auditnya.
 Reaksi Kooperatif, merupakan reaksi yang paling diinginkan oleh setiap Auditor dimana Auditan bersikap kooperatif dalam proses Audit.
Gambaran reaksi di atas bisa dijadikan acuan untuk mempersiapkan perlakuan dan model-model interaksi/pendekatan terhadap auditan dalam proses audit yang akan dilaksanakan.

Mengatasi konflik yang sudah terjadi

Meskipun usaha-usaha preventif untuk mencegah munculnya konflik baik dalam frame internal tim audit maupun antara auditor dengan auditan telah dilakukan, namun seringkali muncul pemicu-pemicu konflik yang di luar dugaan muncul dalam pelaksanaan audit. Sebuah metode yang sering disebut empat kuadran manajemen konflik menjelaskan berbagai alternatif penyelesaian konflik dipandang dari sudut menang – kalah masing-masing pihak:

1. Kuadran Menang-Menang (Kolaborasi)
Kuadran pertama ini merupakan gaya manajemen konflik kolaborasi atau bekerja sama. Tujuannya adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui sebuah kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang terlibat dalam konflik. Biasanya waktu yang dibutuhkan dalam penyelaian konflik ini paling lama karena harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya berada di kedua ujung ekstrim satu sama lainnya.
Komitmen yang besar dari kedua pihak sangat dibutuhkan untuk penyelesaian konflik type ini dan keuntungan yang bisa diperoleh jika proses ini berjalan dengan baik adalah dapat menumbuhkan hubungan jangka panjang yang kokoh . Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan bahwa masing-masing pihak memahami dengan sepenuhnya keinginan atau tuntutan pihak lainnya dan berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu kedua kepentingan tersebut.
2. Kuadran Menang-Kalah (Persaingan)
Kuadran kedua ini memastikan bahwa kita memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Biasanya kita menggunakan kekuasaan atau pengaruh kita untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut kita yang keluar sebagai pemenangnya. Biasanya pihak yang kalah akan lebih mempersiapkan diri dalam pertemuan berikutnya, sehingga terjadilah suatu suasana persaingan atau kompetisi di antara kedua pihak.
Type penyelesaian konflik ini akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah, sehingga sebaiknya hanya digunakan dalam keadaan terpaksa yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan tegas.
3. Kuadran Kalah-Menang (Mengakomodasi)
Agak berbeda dengan kuadran kedua, kuadran ketiga yaitu kita kalah – mereka menang ini berarti kita berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan pihak lain. Gaya ini kita gunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang kita inginkan.
Mengalah dalam hal ini bukan berarti kita kalah, tetapi kita menciptakan suasana untuk memungkinkan penyelesaian yang paripurna terhadap konflik yang timbul antara kedua pihak. Mengalah memiliki esensi kebesaran jiwa dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk juga mau mengakomodasi kepentingan kita sehingga selanjutnya kita bersama bisa menuju ke kuadran pertama.
4. Kuadran Kalah-Kalah (Menghindari konflik)
Kuadran keempat ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Atau bisa berarti bahwa kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut. Kita tidak memaksakan keinginan kita dan sebaliknya tidak terlalu menginginkan sesuatu yang dimiliki atau dikuasai pihak lain.
Cara ini sebetulnya hanya bisa kita lakukan untuk potensi konflik yang ringan dan tidak terlalu penting. Jadi agar tidak menjadi beban dalam pikiran atau kehidupan kita, sebaiknya memang setiap potensi konflik harus dapat segera diselesaikan.

Keempat alternatif penyelesaian konflik tersebut bukan merupakan pengkategorian mutlak atas penyelesaian konflik. Namun, arah dari setiap penyelesaian konflik jika dilihat dari frame kalah-menang akan menuju ke empat kuadran tersebut yang tentu saja juga terpengaruhi oleh style individu yang berbeda dalam setiap penyelesaian konflik, kualitas berat-ringannya dan penting-tidaknya permasalahan dalam konflik, serta kebutuhan cepat-tidaknya penyelesaian atas konflik yang ada.



Menjalin hubungan setelah terjadinya konflik.

Jika konflik telah terjadi dan berlalu, fase inilah yang paling krusial karena akan menyangkut kelanjutan hubungan interpersonal antar auditor ataupun auditor dengan auditan. Untuk hubungan antar auditor, mutlak harus dipertahankan keharmonisannya, karena secara organisasi Inspektorat Jenderal merupakan sebuah wadah bagi seluruh auditornya dalam membangun Inspektorat Jenderal sebagai Sistem Audit dan Quality Assurance bagi Departemen Perhubungan. Ketidakharmonisan hubungan antar auditor tentu saja akan berakibat langsung pada kualitas hasil audit Inspektorat Jenderal.
Sedangkan untuk hubungan antara auditor dengan auditan, posisi sebagai aparat Pengawasan Intern Departemen Perhubungan, auditor Inspektorat Jenderal lebih banyak berperan sebagai konsultan bagi auditan. Jelas bahwa hubungan yang harmonis antara keduanya merupakan tuntutan sebagai pondasi untuk membangun Departemen Perhubungan lebih baik lagi. Tanpa hubungan yang harmonis antara auditor dengan auditan, proses perbaikan kinerja dalam wujud pelaksanaan tindak lanjut atas rekomendasi temuan-temuan dalam Laporan Hasil Audit tidak dapat optimal dilaksanakan.
Kunci untuk membangun hubungan pasca konflik adalah dengan pemahaman yang mendalam bahwa konflik yang berkelanjutan hanya akan menyisakan efek negatif bagi kita. Efek negatif dalam hal ini adalah efek psikologis bagi diri kita seperti ketidaknyamanan psikologis, cemas, canggung, beban amarah dan sebagainya serta efek negatif terhadap kinerja organisasi. Beberapa hal yang perlu dipahami adalah bahwa:
 Perbedaan adalah hal yang wajar.
 Perbedaan hanya dalam ide, tidak dalam pekerjaan (Compete between ideas but cooperate between people).
 Jangan tumpuk permasalahan konflik dalam diri kita, semakin banyak tertumpuk semakin besar ledakannya.
 Yakini bahwa dalam setiap konflik, setiap orang adalah pemenangnya (win-win solution).