Coret-coretan
PELABUHAN BITUNG:
Potret Pengembangan Pelabuhan di Timur Indonesia
PELABUHAN BITUNG:
Potret Pengembangan Pelabuhan di Timur Indonesia
Globalisasi pelan tapi pasti akan terus berjalan dan tidak akan dapat dihindari. Hal ini ditandai dengan makin terbukanya pasar antar Negara dan semakin cepatnya pergerakan barang, jasa an manusia. Kondisi ini akan semakin memperketat persaingan ekonomi antar Negara karena batasan serta hambatan keluar-masuk suatu negara semakin tipis. Agar dapat tetap eksis dalam persaingan global tersebut, setiap negara harus meningkatkan daya saing ekonomi secara menyeluruh yang melibatkan berbagai aspek/sektor pengelolaan terkait. Salah satu aspek yang terkait adalah pintu gerbang keluar-masuk produk-produk barang, jasa dan manusia: Pelabuhan Laut. Pelabuhan Laut memainkan peranan yang penting karena bila dibandingkan gerbang udara biaya operasionalnya lebih murah, volume lebih besar, dan khusus untuk Negara kita, secara geografis sangat sesuai.
Salah satu pelabuhan yang diharapkan menjadi salah satu pintu gerbang perekonomian Indonesia adalah Pelabuhan Bitung. Dengan posisi yang sangat strategis, berada di bibir pasifik dengan kedalaman yang sangat memadai serta adanya barrier alami Pulau Lembeh, Pelabuhan Bitung semakin berkembang dan memiliki peran yang sangat penting tidak hanya bagi propinsi Sulawesi Utara saja namun secara global bagi Kawasan Indonesia Timur lainnya. Pelabuhan Bitung dalam hitungan tahun-tahun terakhir telah berkembang pesat (baca: Sejarah Pelabuhan Bitung), bahkan untuk ke depannya ada wacana untuk dikembangkan mejadi salah satu international Hub Port di Indonesia yang akan mendampingi Jakarta, Surabaya, Batam dan Bali
Dermaga Pelayaran Rakyat
Potensi Pengembangan
Pelabuhan Bitung memiliki potensi-potensi yang memungkinkan untuk dikembangkan untuk memainkan peranan yang lebih strategis dalam percaturan ekonomi global. Secara umum, potensi-potensi tersebut terdiri atas potensi alami, kegiatan ekonomi (arus barang, jasa dan manusia) yang semakin meningkat, serta arah kebijakan pemerintah.
Pelabuhan Bitung terletak di Kota Bitung, Sulawesi Utara berada pada posisi 01°26’00” LU dan 125°11’00” BT tepat di bibir pasifik. Dengan perlindungan alami Pulau Lembeh, pelabuhan Bitung aman dari terjangan arus/ombak langsung dari Samudera Pasifik. Adapn data-data Hidro-oceanografi Pelabuhan Bitung panjang alur pelayaran 9 mil, lebar alur pelayaran 600 meter, kedalaman minimum 7 meter, luas kolam pelabuhan 4,32 Ha, kecepatan angin 6 knot, kecepatan arus 3 knot, serta tinggi gelombang 1 meter.
Secara geografis, letak Pelabuhan Bitung yang dekat dengan beberapa negara tetangga memungkinkan untuk memotong biaya dan waktu yang digunakan dalam proses transportasi barang, jasa maupun manusia. Sebagai contoh, animo eksportir di Sulawesi Utara untuk memanfaatkan pelayaran rute langsung Bitung - Singapura terus bertambah. Selain karena harga angkutan relatif lebih murah, rute ekspor Bitung-Singapura dinilai mampu menghilangkan sejumlah risiko, serta bisa mendorong percepatan cash flow. Selama ini biaya angkutan per peti kemas Bitung-Tanjung Perak/Tanjung Priok-Singapura dipasang oleh para pengusaha pelayaran sekitar 800 dollar AS. Setelah diadakannya pelayaran langsung Bitung-Singapura para pengusaha pelayaran langsung menurunkan harga per kontainer menjadi sekitar 550 dollar AS. Begitu pula dalam proses ekspor langsung, bakal jauh lebih murah dibandingkan harus melalui Jakarta, atau Surabaya dan Singapura.
Sedangkan fasilitas terminal yang dimiliki Pelabuhan Bitung saat ini antara lain, dermaga terminal Peti Kemas 130 m, dermaga Kapal Pelayaran Rakyat 60 m, lapangan penumpukan 44.000m2, CFS 42X30 m2, Dermaga Nusantara 605 m dan 602 m, IKD 146 m, lapangan petikemas Block 27.311m2 dan Hotmix 2.735 m2, gudang transit 13.392 m2, terminal Penumpang 3.195m2, serta fasilitas angkut lain: kapal tunda, pandu dan tongkang air, fasilitas dock/ship yard Forklift, truk, dsb. Selain itu, dalam 10 tahun terakhir, kegiatan Pelabuhan Bitung mengalami peningkatan kunjungan kapal sebanyak 0,80%, angkutan barang eksport sebesar 17,97%, angkutan barang import sebesar 16,16% serta angkutan petikemas sebesar 2,57%.
Beberapa konsep kebijakan pemerintah (pusat) meskipun beberapa diantaranya masih berupa wacana namun pengembangan Pelabuhan Bitung ditetapkan:
Dalam strategi pengembangan jaringan pelabuhan kargo konvensional di Indonesia, pelabuhan Bitung merupakan salah satu dari 9 Pelabuhan Domestik Perhubungan Terminal Internasional.
Dalam pengembangan Pelabuhan peti kemas di Indonesia, Pelabuhan Bitung diproyeksikan sebagai International Hub Container Port.
Dalam pengembangan pelabuhan penumpang/pariwisata utama wilayah utara untuk Negara-negara Filipina, Malaysia, Brunei Darrusalam, dsb.
Dermaga Petikemas
Permasalahan yang dihadapi
Dilihat dari perjalanannya, Pelabuhan Bitung termasuk salah satu pelabuhan di Indonesia yang cukup pesat perkembangannya dan memiliki prospek pengembangan yang menjanjikan dimasa depan. Namun, di sisi lain terdapat beberapa permasalahan yang bisa menjadi kendala pengembangan pelabuhan tersebut.
Kapasitas Daratan dan Fasilitas
Dilihat dari kondisi wilayah pelabuhan Bitung, wilayah yang memungkinkan untuk dijadikan perluasan area pelabuhan tampaknya terbatas, apalagi kebutuhan luas 400 Ha yang diperlukan untuk wilayah operasional sebuah Pelabuhan Hub Internasional. Potensi lahan yang ada kurang cukup ruang untuk pengembangan dalam wilayah pelabuhan saat ini untuk menyediakan ruang bagi pusat distribusi barang, lapangan penumpukan dan lain-lain.
Jaringan Jalan
Jaringan jalan dari Pelabuhan Bitung ke kota Manado masih belum memenuhi persyaratan untuk dilalui kendaraan-kendaraan bertonase besar pengangkut petikemas. Selain itu, manajemen lalu lintas yang kurang efisien menyebabkan kongesti di dalam dan di sekitar Pelabuhan Bitung, yang cukup menghambat pergerakan barang maupun manusia di pelabuhan.
Isu-isu Institusional
Merupakan hal yang esensial menciptakan suatu pelabuhan yang lebih berdaya guna dan menarik dalam hal fasilitas dan manajemen/operasi bagi pengguna jasa seperti perusahaan pelayaran, agen perusahaan pelayaran, perusahaan ekspedisi (forwarder), pengirim barang, penerima barang dan lain-lain dalam rangka meningkatkan kegunaan dari pelabuhan serta untuk mendapatkan posisi sebagai salah satu pelabuhan utama di Indonesia. Untuk itu diperlukan waktu yang cukup, pemahaman yang luas dan sistematis dari kebutuhan pengguna jasa dan mempertimbangkan kebutuhan mereka dalam pengembangan praktis dan manajemen/operasi pelabuhan. Dalam hal ini PT. Pelindo dan Administrator Pelabuhan sebagai pengelola dan koordinator pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan kegiatan pelayanan jasa kepelabuhanan diharapkan bisa selalu meningkatkan kinerjanya guna memberikan pelayanan, menjamin keselamatan dan kelancaran tugas operasional di pelabuhan, serta menyelesaikan masalah-masalah yang dapat mengganggu kelancaran kegiatan operasional pelabuhan.
Isu Lingkungan
Masalah koneservasi lingkungan selalu menjadi isu yang mewarnai setiap engembangan pelabuhan, tak terkecuali pengembangan Pelabuhan Bitung yang disoroti oleh beberapa LSM lingkungan hidup karena akan menggusur kawasan habitat kuda laut yang dilindungi. Selain itu, konservasi dari fasilitas yang baik dan lingkungan merupakan keharusan bagi pelabuhan besar seperti Bitung untuk kohabitasi yang lebih baik dengan fungsi wilayah kota yang terdekat.
Kebijakan Pemerintah
Pengembangan Pelabuhan Bitung seperti halnya pelabuhan-pelabuhan lainnya di Indonesia, sangat berkaitan erat dengan kebijakan-kebijakan Pemerintah. Setiap pengembangan pelabuhan selalu mengarah ke Pelabuhan Internasional atau Hub Internasional dan tampaknya tren yang terjadi saat ini setiap Pemerintah Daerah yang memiliki Pelabuhan selalu berusaha mempromosikan ke Pemerintah Pusat tentang perlunya Pelabuhan mereka dikembangkan menjadi pelabuhan internasional atau bahkan hub internasional. Sebenarnya, hal ini bertentangan dengan kebijakan yang mengarah prinsip-prinsip cabotage yang dianut pemerintah Indonesia. Azaz cabotage yang penerapannya didukung dengan Instruksi presiden Nomor 5 tahun 2005 tentang pemberdayaan industri pelayaran nasional. Cabotage sendiri merupakan hak eksklusif yang dimiliki suatu Negara dalam menyelenggarakan kebijakan transportasi dalam wilayahnya. Konsep cabotage berkaitan erat dengan sektor pertahanan dan kemanan serta perekonomian (baca: Cabotage).
Terminal Penumpang dan Dermaga Nusantara
Fakta-fakta yang terjadi pada Pelabuhan Bitung di atas merupakan satu potret pengelolaan pelabuhan di Indonesia. Dibutuhkan konsep perencanaan yang benar-benar matang dari pemerintah untuk pengembangan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Banyak aspek yang berpengaruh terhadap kebijakan pengembangan sebuah pelabuhan. Berkaca dari hal tersebut di atas, terdapat tiga hal yang perlu mendapat perhatian berkaitan dengan perencanaan pengembangan pelabuhan di Indonesia. Yang pertama, arah kebijakan pemerintah yang jelas, terarah serta tidak menimbulkan kontradiksi dalam implementasinya. Perencanan pengembangan pelabuhan hendaknya selalu berada dalam bingkai makro seluruh wilayah Negara Indonesia. Prinsip cabotage yang jelas-jelas sebagai sebuah strategi yang menyokong pertahanan dan keamanan Negara serta pembangunan perekonomian yang lebih merata hendaknya menjadi prioritas pertama dari strategi pemerintah. Fakta bahwa saat ini terdapat 141 pelabuhan internasional di Indonesia jelas tidak menguntungkan bagi kita, namun justru menguntungkan banyak negara lain.
Yang kedua, pembenahan intern pengelola serta pelaksana pemerintah di pelabuhan (PT. Pelindo dan Administratur Pelabuhan) sebagai ujung tombak pelayanan pelabuhan mutlak menjadi perhatian Pemerintah. Pola manajemen organisasi modern (SDM, sarana, prasarana serta implementasi peraturan perundangan secara efektif) hendaknya sudah harus diterapkan kedua institusi tersebut untuk selalu bisa mengikuti perkembangan kondisi serta permasalahan yang semakin kompleks.
Sedangkan yang ketiga adalah perlunya koordinasi antar instansi terkait dengan pengembangan pelabuhan di Indonesia. Departemen Perhubungan sebagai motor pengerak diharapkan selalu bisa menjadi fasilitator koordinasi institusi-institusi tersebut. Pelabuhan Bitung merupakan contoh yang menarik dimana saat ini berbagai pihak di Sulawesi utara seperti Pemerintah Daerah serta KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Manado Bitung) selalu menyampaikan kepada Pemerintah Pusat tentang mendesaknya Pelabuhan Bitung untuk dijadikan Pelabuhan Hub Internasional. Disinilah peran pemerintah Pusat (Departemen Perhubungan) untuk mengambil keputusan yang tepat dan bisa memfasilitasi kepentingan pihak-pihak yang terkait. Setiap keputusan hendaknya didasari kebijakan-kebijakan yang mencakup aspek-aspek pengembangan pelabuhan seperti dibahas pada poin di atas. Untuk studi misalnya, harus dilakukan secara obyektif tanpa diikuti kepentingan pihak-pihak tertentu sehngga benar-benar mencerminkan kebutuhan pengembangan pelabuhan dalam bingkai kepentingan nasional. (Wasis)
Sejarah Pelabuhan Bitung
1949 Pelabuhan Desa Bitung Penguasa Pelabuhan Menado
1950 Pelabuhan Bitung Penguasa Pelabuhan Manado/Bitung, kantor di Manado
Penelitian untuk pembangunan Dermaga Pelabuhan Bitung.
1953 Pelabuhan Bitung Penguasa Pelabuhan Manado/Bitung, kantor di Manado
Perwakilan PN Pelabuhan dan Shiping Departemen
1960 Pelabuhan Bitung Penguasa Pelabuhan Manado/Bitung, kantor di Manado
PN Pelabuhan (Perwakilan PN + Shiping Departemen)
1967 Pelabuhan Bitung Penguasa Pelabuhan dijabat ragkap oleh Kepala BPP Bitung, kantor di BPP Bitung
BPP/Adpel
1981 Pelabuhan Bitung BPP/Adpel Peralihan
1985 Adpel Bitung Kantor Adpel terpisah dari BPP Bitung,Adpel Likuidasi
1989 Adpel Kls III Bitung Kantor Adpel, Adpel Likuidasi
2000 Adpel Kls II Bitung Kantor Adpel, Adpel Likuidasi
2002 Adpel Kls I Bitung Kantor Adpel, Adpel Likuidasi
Cabotage
Cabotage adalah hak eksklusif yang dimiliki suatu negara dalam menyelenggarakan kebijakan transportasi dalam wilayahnya. Hak Cabotage menyangkut pemindahan penumpang dan/atau barang antara 2 (dua) tempat yang masih berada dalam satu negara. Sehingga bendera negara yang dimiliki oleh setiap armada maritim dalam pelayarannya, menurut prinsip cabotage menjadi syarat mutlak memperoleh hak cabotage tersebut. Tujuannya adalah memberikan kesempatan bagi pengusaha transportasi lokal untuk berkembang dan berperan serta dalam kegiatan perekonomian baik sebagai objek terutama sebagai subjek.
Mulanya konsep cabotage digulirkan dan diberlakukan bagi moda transportasi laut yang kemudian berkembang dan diimplementasikan pada moda-moda lain seperti moda transportasi udara dan moda transportasi darat. Pada prinsipnya azas ini merupakan bentuk proteksi suatu negara sehubungan dengan kedaulatan negara yang tentunya erat terkait dengan sektor pertahanan dan keamanan serta denyut perekonomian dalam wilayahnya walaupun bila dilihat dalam kacamata globalisasi, hal ini merupakan inefisiensi baik dari segi waktu, biaya maupun energi.
Data yang diperoleh penulis dalam tinjauan Moda Transportasi Laut, terdapat 141 Pelabuhan Internasional (Bisnis Indonesia, 04 April 2005). Artinya adalah terdapat 141 titik terbuka bagi pelayaran internasional yang tentunya memiliki konsekuensi yang harus disiap ditangani oleh Pemerintah. Tentunya hal ini menyangkut beberapa sektor utama, yakni pertahanan dan keamanan serta perdagangan dan perindustrian (perekonomian). Sehingga terdapat banyak jalur lalu lintas transportasi laut terbuka dalam wilayah kesatuan Indonesia bagi armada maritim berbendera negara lain yang diperbolehkan untuk singgah di pelabuhan internasional tersebut. Artinya pula bahwa terdapat jalur dan point persinggahan yang rawan baik bagi pertahanan dan keamanan maupun illegal trading.
Idealnya apabila konsep otonomi daerah telah mengcover seluruh aspek (IPolEkSosBudHanKam) dan terimplementasi dengan baik, menurut penulis jumlah Pelabuhan Utama non Pelabuhan Internasional dapat berjumlah sesuai dengan jumlah pembagian provinsi (1 provinsi – 1 Pelabuhan Intenasional) namun tentunya untuk menetapkannya menjadi Pelabuhan Internasional harus mempertimbangkan letak strategis-geografis, potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia dan industri pendukung dengan memandang konsep wawasan nusantara dan nasionalisme secara utuh. Tentunya hal ini membutuhkan political will, koordinasi sektoral, waktu, pembangunan sumber daya manusia, pembangunan sarana dan prasarana serta pembangunan armada pertahanan & keamanan yang mampu mendukung hal tersebut.
Pada beberapa negara azas cabotage diatur secara eksplisit dan diimplementasi dengan tegas dan konsekuen. Kita dapat mengambil satu contoh penerapan azas cabotage yakni di Amerika Serikat. Konsep ini dituangkan secara jelas dan tegas dalam Jones Act, dimana Pelabuhan-pelabuhan domestik (pelabuhan pengumpan/spoke) dibuka sedemikian luas untuk membuka kesempatan yang luas bagi pengusaha lokal tumbuh dan berkembang dalam partisipasinya menyediakan sarana penujang roda perekonomian. Sedangkan terdapat pula pelabuhan-pelabuhan internasional yang berfungsi sebagai pelabuhan pengumpul (hub) bagi spoke-spoke disekitarnya. Hal ini tentunya didukung oleh kebijakan dalam sektor transportasi, penegakan hukum, perdagangan, perindustrian, perbankan dan lainnya. Sebab tanpa basis yang kuat dan koordinasi sektoral yang solid, sungguh sulit tercipta iklim yang baik dan kondusif dalam memaksimalkan pertumbuhan armada nasionalnya.
Sehubungan dengan azas cabotage ini, pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional pada bulan Maret 2005 yang secara tegas mengikat 13 Menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Inpres ini digulirkan sebagai payung hukum bagi industri pelayaran nasional dalam menjawab beberapa hambatan untuk memaksimalkan pertumbuhannya, yaitu :
Penerapan awal Azas Cabotage dimulai dengan mewajibkan muatan laut internasional Pemerintah dan BUMN untuk menggunakan Armada Maritim Nasional.
Memberikan insentif fiskal/perpajakan bagi penggunaan Armada Maritim Nasional tersebut pada point 1 (satu) diatas.
Memberikan insentif fiskal/perpajakan bagi pembangunan dan perbaikan Armada Maritim di Galangan Nasional.
Mengurangi jumlah Pelabuhan Internasional.
Menyiapkan Ratifikasi atas ketentuan yang dikeluarkan oleh IMO, yaitu Mortgage Law (Hipotik/Penggadaian Armada Maritim) dan Arrest of a Ship (Pelanggaran Pidana Armada Maritim) sebagai langkah menyiasati keterbatasan sumber-sumber pendanaan pada Industri Pelayaran Nasional.