Sabtu, 03 Januari 2009

Uneg-uneg

Belajar Budaya Disiplin Dari Negeri Sakura


Disiplin masyarakat masih merupakan salah satu problem bangsa ini, termasuk pada penyelenggaraan pelayanan jasa di sektor perhubungan. Kesadaran masyarakat untuk berdisiplin masih rendah. Banyak dari mereka tidak menyadari bahwa kesadaran akan disiplin akan kembali kepada kenyamanan mereka juga dalam menikmati pelayanan jasa. Banyak contoh ketindaknyamanan atau bahkan keruwetan yang muncul akibat disiplin yang rendah dari masyarakat mulai dari tertib antri, buang sampah, bahkan sampai perilaku yang sangat membahayakan nyawa mereka seperti naik ke atap KRL. Memang kesalahan jangan ditimpakan seluruhnya kepada masyarakat, namun pemerintah selaku perumus kebijakan dan peraturan juga layak disalahkan juga, karena kunci utamanya memang seharusnya ada sinergi antara pemerintah dan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, beberapa hari yang lalu saya mendapatkan e-mail dari seorang teman kuliah di Negeri Sakura tentang Budaya Disiplin dalam membuang sampah, yang mungkin bisa kita jadikan salah satu model untuk belajar bagi kita. Isinya adalah sebagai berikut:
Di Negeri Jepang selalu dikampanyekan slogan "Utsukushii kuni" (Negara Jepang yang cantik), meskipun saya lihat setiap sudut negeri ini sudah tampak sangat bersih. Kebersihan memang menjadi ciri utama Jepang, yang rasanya sulit dijumpai di negara lain. Disiplin dalam membuang sampah telah membudaya di masyarakat. Baru-baru ini di Chukyo University, salah satu Universitas di Jepang dikeluarkan edaran mengenai terbentuknya "Gomihiroi-tai" di kampus. ”Gomihiroi-tai” artinya pasukan pemungut sampah yang bertujuan mewujudkan kampus Chukyo sebagai yang tercantik di Jepang. Saat ini, anggota pasukan ini mencapai 85 orang sukarelawan dan sukarelawati kampus. Edaran ini meminta partisipasi dari para dosen dan staf agar bergabung di pasukan ini.
Saat bergabung calon anggota pasukan itu harus mematuhi aturan-aturan sebagai berikut:
1. Sampah yang jatuh di kampus harus dipungut dengan tangan kosong ("sude"), tidak boleh memakai alat. Memungut kotoran anjing/kucing hanya diperuntukkan mereka yang bernyali-besar saja (“yuuki no aru hito”).
2. Jika menemukan puntung rokok atau permen karet, anda tidak boleh pura-pura seolah tidak melihatnya.
3. Saat berjalan kaki di kampus, anda harus memperhatikan kalau-kalau ada sampah yang harus dipungut dalam area sekitar anda pada radius 10 meter.
4. Jika anda melihat sampah jatuh di halaman kampus, anda tidak boleh mengumpat "Daregasuteta! Bakayaroo!" (“siapa sih yang buang sampah ini?...bego amat sih…!”). Anda harus memungut sampah itu dengan rasa senang dan hati ringan.
5. Saat memungut sampah itu, anda tidak boleh merasa malu atau merasa kurang pantas ("kakko warui"). Pungutlah dengan wajah ceria dan senyum di wajah.
Selain itu ada juga beberapa catatan tambahan sebagai berikut:
1. Tidak ada pungutan biaya untuk menjadi anggota "gomihiroi-tai"
2. Tidak akan ada perintah/komando dari pemimpin pasukan
3. Jika ingin keluar dari pasukan, silakan keluar sewajarnya
4. Jika anda melanggar aturan yang ditetapkan, maka sesalilah sendiri kesalahan anda itu di kamar gelap.
5. Tidak ada batasan maksimal jumlah anggota, usia, tinggi badan, maupun jenis kelamin
6. Aksi dilakukan perorangan. Tidak akan ada aksi bersama/serentak

Setelah selesai membaca e-mail tersebut dalam hati saya berkomentar: “Ah itu kan di Jepang, Negara yang sudah maju”. “Mau nyontoh apanya? Sulit kalau diterapkan di Negara kita…” “Apalagi isi aturannya…aneh dan lucu.” “Masih jauuuh dari kondisi Negara kita saat ini…”
Tapi beberapa saat kemudian saya ralat sendiri komentar saya tersebut: “Heh kita tidak boleh pesimis dong! Kuncinya kan kemauan toh? Kalo kita mau dan semua juga mau apa yang nggak bisa?”.....”Lha wong Jepang aja bisa koq, kita tidak?”
Masih di dalam hati, lalu saya ralat lagi komentar saya…..