Sabtu, 02 Mei 2009

Coret-coretan

Ngobrol Agak Serius Dengan Pak Taufik Effendi


Tulisan ini merupakan hasil audiensi saya (atas nama majalah ITJEN DEPHUB "Transparansi") dengan dengan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Bapak Taufik Effendi di Kantor Beliau yang asri di Jalan Sudirman, Jakarta. Dengan Menteri yang lahir di Barabai Kalimantan Selatan, 12 April 1941 ini, saya terlibat dalam perbincangan yang sangat menarik mulai dari permasalahan pendayagunaan aparatur negara, Good Governance, best practices dalam pemerintahan, sampai permasalahan-permasalahan pokok bangsa ini. Terlibat diskusi dengan Menteri yang supel dan terbuka ini, saya mendapatkan wawasan yang begitu komplit dari berbagai sudut pandang, mendalam serta bervisi jauh ke depan. Hal ini sangat sejalan dengan bakat serta pengalaman beliau yang sangat beragam. Mungkin banyak yang belum tahu jika lulusan Fakultas Sosial dan Politik, Jurusan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada ini pernah berkarir di Kepolisian dan Peneliti di BPPT, sebelum akhirnya terlibat dalam kancah politik yang akhirnya mengantar beliau pada posisi Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Ini. Berikut hasil audiensi Transparansi dengan Bapak Taufik Effendi, yang disampaikan dalam bentuk narasi.

Tentang Pegawai Honorer

Begitu saya masuk ke ruangan beliau, pertama-tama beliau langsung menyampaikan permasalahan pegawai honorer di Negara kita. “Tolong di muat ya, apalagi Transparansi, sesuai namanya harus disampaikan apa adanya” Demikian Pak Taufik memulai pembicaraan ini.
Permasalahan Pegawai honorer merupakan sebuah isu yang sangat menarik. Sebenarnya hal tersebut berawal dari hal yang sangat sederhana sekali, yaitu untuk mengangkat derajat pegawai honorer, supaya lebih ada kepastian, memiliki kesejahteraan yang lebih baik. Kalau hanya sekedar dari sisi itu tidak terbayangkan sesuatu yang ribet, karena logikanya daftar pegawai honorer di daerah maupun disetiap instansi pasti sudah ada. Logikanya daftar itu bisa didapatkan dari daftar gaji mereka tersebut. Waktu diminta untuk menyampaikan daftar pegawai tersebut, logikanya satu minggu selesai, hanya tinggal mengcopy atau menyalin saja. Tetapi, kenyataannya 1 bulan tidak selesai, 2 bulan tidak selesai, 3 bulan tidak selesai, 4 bulan tidak selesai. Daftar itu baru selesai dan disampaikan setelah 7 bulan. Mengapa baru 7 bulan? Itupun penuh dengan rekayasa. Hal ini dapat diilustrasikan dengan sebuah contoh sederhana:
Berawal dari sebuah pengumunan, seorang guru honor swasta mendengar bahwa Guru honor akan diangkat menjadi PNS, karena ia merasa guru honor maka dia merasa berhak diangkat padahal dia guru swasta. Dia pikir sama-sama honornya lalu ada orang yang mendorongnya: “itu guru honor segera diangkat”. Jadi pada awalnya, disini ada kata-kata honor dan kebetulan sama-sama guru maka kesimpulannya sama-sama berhak sebagai PNS lalu mereka pikir apa bedanya. Makanya muncullah pegawai honorer, ada pegawai honorer dari yayasan, ada yang dari desa/kelurahan, ada dari persatuan guru dan murid, ada juga yang diangkat dengan bermacam-macam cara, diangkat yayasan ada, diangkat kepala sekolah ada, diangkat kepala desa ada, diangkat kepala UPT ada.
Sebetulnya permasalahan ini adalah masalah batas, karena selama ini orang tidak menyadari sesuatu itu ada batasnya. Batas itu adalah persyaratan, contohnya : Semua warga Negara RI mempunyai hak yang sama untuk diangkat menjadi TNI tetapi dalam prakteknya tidak semua Warga RI bisa menjadi anggota TNI, ada persyaratannya dan ini bukan diskriminasi. Ini yang perlu menjadi perhatian, di sini telah terjadi penyesatan logika. Hal inilah yang harus dibuat transparan, kita harus menggunakan logika yang sebenarnya, dan setiap wilayah punya batas-batas, setiap Departemen punya batas-batas. Batas ini harus dijaga karena dipayungi oleh UU dan harus dihormati oleh semua pihak.
Misalnya, ada batas-batas yang menjadi bagian dari aparatur negara, siapa yang dimaksud dengan Aparatur Negara itu. Aparatur Negara adalah siapa saja yang mendapat penghasilan dari APBN, APBD, di luar batas itu bukan. Kemudian aparatur Negara adalah yang diangkat oleh Pembina Kepegawaian yang berwenang. Perlu diperhatikan bahwa yang mengangkat mesti jelas, sama-sama Presiden, tapi kalau presiden partai dan Presiden RI itu ya berbeda.
Sekedar menjadi selingan, jadi yang sangat penting untuk transparansi adalah pelurusan istilah-istilah yang bisa menyesatkan kita. Yang pertama istilah diskriminasi, apa yang dimasksud dengan diskriminasi itu. Seperti disampaikan di atas, semua warga negara bisa menjadi TNI, namun tidak semua menjadi anggota TNI, ada syarat-syaratnya. Nah, itu bukan diskriminasi, kalau orang kalimantan tidak boleh menjadi anggota TNI itu baru namanya diskriminasi. Yang kedua, banyak orang menyatakan demokrasi yang merupakan sesuatu paham yang menuntut adanya aturan. Demokrasi yang menjamin kebebasan pendapat bukan kebebasan bertindak. Demokrasi juga merupakan kesediaan utk menerima pendapat orang lain atau orang yang terbanyak. Demokrasi menuntut tidak boleh memaksakan kehendak, demokrasi tanpa aturan namanya bukan demokrasi tapi anarkis.
Kembali lagi ke batasan, batas tersebut di atas adalah yang diurus oleh Kementerian Negara PAN adalah ini warganyayang masuk diruang lingkup Aparatur Negara. Pegawai Honorer yang diurus oleh Kementerian Negara PAN adalah Pegawai Honorer yang masuk ruang lingkung Aparatur Negara, yang diluar itu tidak termasuk. Seperti halnya dokter, ada dokter swasta, ada dokter pemerintah, dokter pemerintah ada bermacam-macam dokter, ada dokter tentara, ada dokter polisi, dokter kementerian/departemen, masing-masing tunduk pada aturan tersendiri, sama-sama dokter sama-sama bertugas mengobati, namun berbeda karena adanya aturan-aturan tertentu. sedangkan pegawai-pegawai yang diluar aparatur ini urusan siapa? Ya urusan Departemen masing-masing. Ada lagi guru-guru agama, itu urusannya ada di Departemen Agama. Sedangkan guru negeri pasti urusan menteri Aparatur Negara. Contoh guru di pesantren, gurunya pintar mengaji, ngajar pinter lalu minta diangkat menjadi PNS, lalu ijazahnya apa, itu akan menimbulkan masalah, dan masalah ini akan ditangani secara khusus oleh menteri Agama.
Batas-batas Ini muncul sebagai dorongan. Sebenarnya berbagai pihak yang terlibat sudah tahu kalau dirinya ragu-ragu. Ada tiga jenis orang yang terlibat disini: ada yg tidak tahu, tapi dia tidak tahu dirinya tidak tahu, ada juga orang yang tidak mau mengerti, ada lagi yang mau coba-coba, siapa tahu diangkat PNS. Mengapa hal ini terjadi? saya lihat ada beberapa indikasi:
Yang pertama, tadi daftar yang sebenarnya bisa diselesaikan dalam waktu 1 minggu, tapi baru selesai setelah 7 bulan. Bukannya mengcopy daftar lama malah dibuat daftar baru dengan rekayasa, ini bukan salah siapa-siapa dan tidak bisa saling salah menyalahkan meskipun antara BKD dan BKN itu kesulitan adalah BKD adalah aparat Pemda dan BKD itu tunduk taat pada gubernur. Kemuadian yang kedua disebabkan ada yg kocok-kocok cari-cari keuntungan, siapa tahu bisa lolos. Yang ketiga adalah suasananya, situasinya karena saat ini memang banyak sekolah swasta yang kondisinya sangat memprihatin kesejahteraannya. Pemikirannya dengan menjadi PNS pasti ada peningkatan kesejahteraan, ada pensiunnya, dan sebagainya. Yang keempat adalah didorong oleh pihak-pihak tertentu yang memang punya tujuan tertentu, senang lihat yg ramai. SMS (senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang), kemudian yang lebih parah lagi ini dibawa ke ranah politik, dengan berbagai cara untuk mendiskreditkan pemerintah.

Tentang Reformasi dan Good Governance.

Pada prinsipnya kita mau mengembalikan bagaimana reformasi bisa berjalan dengan benar, “apa yang saya lakukan ini bagian dari reformasi” Demikian Pak Taufik menyambung pembicaraan ini. Reformasi birokrasi mencakup dua hal penting:
Yang pertama adalah Perubahan Mindset dari cara berfikir kekuasaan menjadi cara berpikir peranan, apa perananya? yaitu setiap Departemen, setiap Lembaga bahkan setiap warga Negara dituntut memiliki peranan: mengurangi pengangguran, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Jaman dulu kita hanya berpikir wewenang/kekuasaan, setiap Departemen yang berperan sebagai Departemen induk, akhirnya menjadi seperti pasar, itulah yg terjadi di tempat-tempat perijinan.
Sekarang sudah banyak terjadi perubahan bukan sebagai penguasa tapi peranannya apa. Peran Perhubungan mengurangi kemiskinan apa, mengurangi pengangguran apa. Dengan kita berpikir peranan maka setiap Departemen dan Kementerian harus betul-betul bisa melepaskan yang namanya egosektor, jangan berfikirnya pendek. Contohnya kita kadang-kadang berfikir bhwa kalau di bidang kesehatan rakyat sudah senang kalo pas sakit gratis, mk berlomba-lombalah setiap kabupaten membuat rumah sakit gratis, bukan itu yang saya minta, menurut saya kalau bisa bagaimana menjauhkan masyarakat dari masalah itu, bagaimana agar masyarakat tidak sakit. Dengan menjauhkan mereka dari rumah sakit yaitu pertama dia menciptakan lingkungan yang bersih, melakukan penyuluhan lingkungan dengan baik. Kemudian dengan penerapan prinsip-prinsip hidup yang sehat, contoh orang tua kita dulu pintar mengajari kita makan kalau kamu makan masak sayur lodeh jangan lupa pakai daun salam, daun salam itu menghilangkan unsure-unsur jahat dari kolesterol, asam urat, tapi kita sok modern kita kasih ajinomoto yang sudah kita tahu itu racun.
Jika kita melihat dari segi keamanan, prinsip keamanan ini harus diubah, keamanan yang saya dambakan itu namanya security through services, keamanan melalui pelayanan, contoh pelayanan paspor yang tadinya 40 hari sekarang 3 jam dengan pelayanan yang cepat itu, calo tidak bakalan ada, tidak perlu dilarang, begitu semua gampang calo pasti tersisih dengan sendirinya. “Saya pernah bicara dengan Kapolri, Kapolda, Jakgung bahwa tugas akhir dari keamanan itu bukan memasukkan banyak-banyak orang dipenjara tapi bagaimana menjauhkan mereka dari penjara yaitu menciptakan masyarakat yang law obedience, masyarakat yang paham hukum. “Bisakah semua kita laksanakan dengan kasih sayang, dengan Arrohman Arrohim?”
Yang kedua adalah adalah Perubahan Mindset dari cara berfikir sebagai penguasa menjadi berpikir sebagai pelayan, artinya dia melayani masyarakat. Untuk bisa melayani masyarakat dia harus tahu:
1. Apa yang diinginkan oleh masyarakat. Termasuk di dalamnya, apa saja keluhan masyarakat kepada instansi pemerintahan.
2. Apa saja pengharapan masyarakat terhadap instansi pemerintah.
3. Apa saja langkah-langkah antisipasi yang akan dilakukan.

Sebenarnya yang diinginkan masyarakat itu sederhanya saja: masyarakat ingin mendapatkan pelayanan yang baik: mudah dalam artian jelas syarat-syaratnya, murah dalam artian jelas biayanya, dan cepat dalam artian jelas kapan selesainya.


Tentang Bangsa Indonesia dan Ciri khasnya.

Berkaitan dengan perubahan mindset di atas adalah kondisi personil/pejabatnya. Ini berkaitan dengan salah satu potensi yang dimiliki Bangsa Indonesia untuk membentuk manusia-manusianya menjadi orang-orang yang berkualitas. Bangsa Indonesia sebenarnya memiliki cirikhas yaitu “bangsa yang agamis”. Ibarat mobil maka ciri-cirinya adalah adanya setir, ada ban, ada mesin. Begitu juga bangsa ini, sebagai bangsa yang beragama, sudah tentu memiliki cirri-ciri antara lain rakyatnya percaya akan adanya Allah/ Tuhan Yang Maha Esa, kalau kita percaya akan ada-Nya, pasti taat kepada-Nya, menjauhi larangannya dan melaksanakan/mengerjakan perintah Nya, dan sebagai akibat logisnya atau outputnya pasti kita dapat membedakan mana yang lebih baik dan yang salah, yang halal dan yang haram, mana yang bermanfaat mana yang membawa bencana dan sebagainya. Sedang outcomesnya, atau secara faktual, yang terlihat dalam tingkah laku sehari-hari adalah sifat jujur, hormat pada hak orang lain, sabar, jiwa besar dan lain-lain.
Pemikiran ini didapat dari adanya pertanyaan, mengapa bangsa-bangsa lain lebih maju, kenapa bangsa saya tidak maju, ada orang bilang bangsa tua lebih maju tapi nyatanya tidak, atau dikarenakan sumber daya alam. Intindari semuanya adalah rakyatnya, penduduknya Negara-negara maju itu sebagian besar penduduknya di Negara-negara yang maju memiliki sifat kurang dimilki oleh Negara-negara lain. Ada idiom, kalau santennya apek dan basi nasinya, maka siapapun yang menjadi juru masak tetap tidak bisa menghasilkan makanan enak. Lee kwan Yew ketika membenahi Singapura yang terpuruk, pertama kali yang menjadi prioritas adalah pendidikan TK dan SD, dan generasi mereka inilah yang sekarang menjadi tulang punggung kuatnya Siangapura. Kalau kita salah membajak sawah hanya rusak tanaman semusim tetapi kalau salah mengelola bangsa ini, rusak semuanya.
Coba direnungkan bahwa perbedaan antara negara berkembang (miskin) dan negara maju (kaya) tidak tergantung pada umur negara itu. Contohnya negara India dan Mesir, yang umurnya lebih dari 2000 tahun, tetapi mereka tetap terbelakang (miskin). Di sisi lain, Singapura, Kanada, Australia & New Zealand negara yang umurnya kurang dari 150 tahun dalam membangun, saat ini mereka adalah bagian dari negara maju di dunia, dan penduduknya tidak lagi miskin
Ketersediaan sumber daya alam dari suatu negara juga tidak menjamin negara itu menjadi kaya atau miskin. Jepang mempunyai area yang sangat terbatas. Daratannya, 80% berupa pegunungan dan tidak cukup untuk meningkatkan pertanian dan peternakan. Tetapi, saat ini Jepang menjadi raksasa ekonomi nomor dua di dunia. Jepang laksana suatu negara “industri terapung” yang besar sekali, mengimpor bahan baku dari semua negara di dunia dan mengekspor barang jadinya.
Swiss tidak mempunyai perkebunan coklat tetapi sebagai negara pembuat coklat terbaik di dunia. Negara Swiss sangat kecil, hanya 11% daratannya yang bisa ditanami. Swiss juga mengolah susu dengan kualitas terbaik. (Nestle adalah salah satu perusahaan makanan terbesar di dunia). Swiss juga tidak mempunyai cukup reputasi dalam keamanan, integritas, dan ketertiban – tetapi saat ini bank-bank di Swiss menjadi bank yang sangat disukai di dunia.
Para eksekutif dari negara maju yang berkomunikasi dengan temannya dari negara terbelakang akan sependapat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal kecerdasan Ras atau warna kulit juga bukan faktor penting. Para imigran yang dinyatakan pemalas di negara asalnya ternyata menjadi sumber daya yang sangat produktif di negara-negara maju/kaya di Eropa.
Perbedaannya adalah pada sikap/perilaku masyarakatnya, yang telah dibentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan. Berdasarkan analisis atau perilaku masyarakat di negara maju, ternyata bahwa mayoritas penduduknya sehari-hari mengikuti / mematuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan sebagai berikut:
1. Etika, sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari
2. Kejujuran dan integritas
3. Bertanggung jawab
4. Hormat pada aturan & hukum masyarakat
5. Hormat pada hak orang/warga lain
6. Cinta pada pekerjaan
7. Berusaha keras untuk menabung & investasi
8. Mau bekerja keras
9. Tepat waktu
10. Tidak menyalahkan orang
Kita harus belajar dari sejarah bangsa kita, kita pernah memiliki kerajaan-kerajaan besar pada masa lampau. Contohnya Majapahit, Sriwijaya dan Mataram, tapi semua tak berumur lama, kenapa? Semua kerajaan itu hancur bukan Kehancuran bangsa bukan oleh musuh tapi pengkhianatan dan kebodohan bangsa itu sendiri. Berkaca dari sejarah tersebut, jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang telah kita lakukan pada masa-masa tersebut.

Tentang Strategi Peningkatan Kualitas kinerja Pemerintahan
Kondisi obyektif dari birokrasi pemerintahan kita tahun 2004 dan tahun-tahun sebelumnya, jumlah personil besar, kompetensi kecil penyebaran tidak merata, penghasilan rendah, pelayanan public buruk, serta korupsi. Menghadapi hal tersebut, ada tiga strategi yang saya gunakan:
Strategi pertama, menarik kembali kepercayaan masyarakat. Dengan memberikan pelayanan kepada masyarakat, dengan membangun best practices di lima daerah, dimulai dr bawah dilandasi falsafah: bermula dari akhir dan berakhir dari awal, ujungnya kan pelayanan dengan: apa syaratnya, berapa ongkos dan berapa lama selesainya.
Hal ini berkaitan dengan motivasi, motivasi itu hanya akan timbul bila kepentingan kita ada di situ. Contoh: saat-saat pacaran, ketika sang pacar minta dijemput jam 5, maka yang terjadi jam 11 lihat jam, jam 2 lihat jam, dst…Akhirnya, “wah gak punya motor, sampai dibelain pinjam motor dan tidak malu untuk pinjam motor” Akhirnya jam 5 teng sudah menjemput. Ini terjadi karena ada kepentingan. Lain ceritanya jika disuruh jemput mak-nya, pasti ada saja alasannya, mana yang tidak ada motor, dan sebagainya. Kitapun tidak bisa mendorong anak buah kalau tidak ada motivasi.
Pada tahun 2005, ada lima daerah yg melaksanakan best practices, hasilnya: PAD naik, fiscal naik, perajin naik, lalu saya puji setengah mati. Di sini saya menggunakan pendekatan bangsa, mencacimaki itu bukan pendekatan bangsa. Itu justru menghancurkan bangsa. “Tolong tulis, mencaci maki justru menghancurkan bangsa”. Kalau ingin membangun bangsa ini, pujilah. Ini saya praktekan, sampai-sampai orang yang mendengarnya bosan, Sragen lagi Pak Taufik, Solok lagi Pak Taufik Namun akhirnya daerah lain akan mencari tahu kenapa sih dengan sragen? Kenapa dengan Jembrana? Sangatlah lumrah jika daerah lain ingin dipuji juga. Alhamdulillah dari 5 menjadi berkali-kali lipat, sekarang ada 300 daerah. Apa motivasinya? Ingin meniru. Selain itu ada efek lainnya, yaitu terdapat 172 kepala daerah incumbent yang terpilih lagi dengan telak, bahkan terpilih untuk jabatan yang lebih tinggi, Bupati Solok terpilih menjadi Gubernur.
Strategi yang kedua adalah dengan penekanan pada investasi, karena dengan investasi kita bisa mengurangi kemiskinan, pengangguran dan tentu saja meningkatkan kesejahteraan.
Sedangkan strategi yang ketiga, dengan melakukan grand design pada tiga lembaga: Departemen Keuangan, Mahkamah Agung, dan KPK, dengan konsep remunerasi berbeda, tapi nantinya semua departemen pasti akan seperti tiga lembaga tersebut, Tapi tentu saja tiap Departemen harus ada persiapan untuk hal tersebut.
Yang terakhir Pak Taufik menyampaikan, “kan ini Jurnal Inspektorat, apa peran inspektorat?” Peran Itjen bukan menjadi polisi, bukan watch dog, Itjen harus berperan sebagai quality assurance. Itu yang sudah saya bicarakan dengan KPK, bagaimana supaya Itjen bisa berperan sebagai quality assurance, bagaimana aturan mainnya, nanti kemungkinan ada kaitannya dengan koordinasi KPK-Itjen, semacam suatu jaringan. Tapi yang harus diperhatikan adalah perbedaan peran antara external audit yg mencari beda antara perencanaan dg pelaksanaa, ini yang diperankan oleh BPK. Sebelum diperiksa BPK inilah yg akan diperbaiki oleh internal audit. “Inter audit wataknya adalah supervisi, rekomendasi, serta konsultansi” Demikian Pak Taufik menutup pembicaraan ini..


Jumat, 10 April 2009

Coretan-coretan

Auditor dan Manajemen Konflik



Kemampuan untuk menciptakan hubungan interpersonal yang efektif mutlak dimiliki oleh auditor, karena dalam pelaksanaan tugasnya selalu terdapat interaksi interpersonal yang menonjol mulai dengan sesama tim audit, dengan atasan, dengan auditan, sampai pihak-pihak lain yang berkaitan dengan proses audit. Salah satu aspek penting dalam kemampuan untuk menciptakan hubungan yang efektif tersebut adalah kemampuan dalam mengatasi konflik interpersonal (manajemen konflik). Apalagi profesi auditor merupakan salah satu profesi yang rentan menimbulkan potensi konflik di dalamnya. Terdapat tekanan-tekanan psikis (bahkan mungkin fisik) terhadap auditor dalam pengambilan keputusan yang berpotensi menimbulkan konflik. Adapun potensi konflik yang paling mungkin muncul adalah:

 Internal Tim Audit
Idealnya dalam sebuah tim harus selalu terdapat kerjasama, kekompakan dan kesamaan visi-misi yang selalu dipahami setiap anggota dalam rangka pencapaian tujuan bersama yang telah ditentukan. Namun, dalam praktiknya sering terjadi perbedaan-perbedaan yang pada akhirnya menimbulkan konflik antar anggota. Dalam sebuah tim audit kemungkinan munculnya konflik antar anggota tim audit (termasuk di dalamnya Pengawas, Dalnis dan Daltu) sangat terbuka terutama saat berada di lapangan dan telah mendapatkan temuan-temuan audit. Personel yang terlibat dalam sebuah audit adalah individu-individu yang berbeda baik tipe kepribadian, kemampuan kognitif, kompetensi, cara kerja serta (mungkin) ”orientasi pribadi” dalam audit yang dilakukan.

 Auditor – Auditan
Interaksi antara Auditor dan Auditan merupakan salah satu interaksi yang spesifik dimana peran lebih banyak dipegang oleh Auditor sehingga Auditor dituntut untuk bisa mengarahkan interaksi tersebut agar menjadi efektif. Di sisi lain, Auditan memiliki peran yang lebih kecil dalam konteks interaksi ini. Secara psikologis, Auditan berada pada posisi ”harus” mengikuti aturan main yang dipakai oleh Auditor. Kondisi inilah yang sangat rentan menimbulkan konflik antara mereka.

Secara umum, terdapat tiga prinsip manajemen konflik yang dijadikan pedoman untuk menghadapi konflik dalam berbagai konteks interaksi: bagaimana mencegah terjadinya konflik, bagaimana mengatasi konflik yang sudah terjadi serta bagaimana menjalin hubungan setelah terjadinya konflik.

Mencegah terjadinya konflik

Prinsip ini merupakan cara-cara yang paling efektif bagi para auditor untuk menghadapi konflik karena mencakup langkah preventif untuk meminimalkan/menghilangkan potensi konflik yang mungkin akan muncul. Seperti disebutkan di atas, kebersamaan merupakan aspek penting yang harus dipedomani setiap individu dalam menjalani interaksi dengan pihak lain.
Dalam frame konflik internal tim audit, bisa dilakukan dengan membangun sebuah tim audit yang solid dan kompak. Memang sebuah metode yang umum dan klise, tapi yang lebih penting adalah bagaimana cara dan strategi untuk menuju ke arah tersebut. Beberapa langkah yang bisa dijadikan pedoman untuk membangun tim audit yang solid:
 Pemahaman, kontrol diri serta komitmen bahwa kita adalah bagian dari sebuah tim, yang telah lebur dalam satu visi-misi dan tujuan, serta hilangkan kepentingan pribadi,
 Nomor satukan Komunikasi dan asertivitas (keterbukaan), semua hal bisa dibahas dengan prinsip win-win solution.
 Peran aktif dalam persiapan audit, jadikan penyusunan Program Kerja Audit sebagai sebuah ajang diskusi tentang aturan main serta apa, bagaimana, siapa dan dimana kegiatan yang dilakukan dalam proses audit.
 Peran aktif dari setiap angota untuk saling mengingatkan hal-hal di atas, sedangkan Ketua Tim harus bisa mengendalikan arah kerja tim agar selalu sesuai visi-misi dan tujuan yang telah disepakati.

Sedangkan dalam frame konflik auditor – auditan, langkah-langkah preventif yang bisa dilakukan auditor untuk meminimalkan potensi konflik dengan auditan adalah dengan penggalian informasi dan pemahaman terhadap kondisi pribadi auditan, seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan serta informasi-informasi tentang reputasi auditan. Secara umum, gambaran reaksi yang mungkin muncul dari auditan sebagai efek dari proses audit adalah sebagai berikut:

 Reaksi Frontal, dimana Auditan memunculkan reaksi menghadapi Auditor secara frontal, berani menyangkal pendapat atau temuan-temuan dari Auditor secara terbuka.
 Reaksi Escape, dimana Auditan memunculkan reaksi menghadapi Auditor dengan melarikan diri dari tanggung jawab atau bahkan tidak mau menemui Auditor dengan berbagai alasan. Reaksi ini bisa juga muncul dalam bentuk tidak mau bertanggungjawab atas kesalahan dan mengkambinghitamkan orang lain.
 Reaksi Cerdik, reaksi ini muncul dalam bentuk perilaku-perilaku cerdik dan taktis dari Auditan untuk menyangkal data atau temuan Auditor.
 Reaksi Pasrah, merupakan reaksi yang berbentuk sikap dan perilaku pasrah dan menyerah pada Auditor mau dibawa kemana arah auditnya.
 Reaksi Kooperatif, merupakan reaksi yang paling diinginkan oleh setiap Auditor dimana Auditan bersikap kooperatif dalam proses Audit.
Gambaran reaksi di atas bisa dijadikan acuan untuk mempersiapkan perlakuan dan model-model interaksi/pendekatan terhadap auditan dalam proses audit yang akan dilaksanakan.

Mengatasi konflik yang sudah terjadi

Meskipun usaha-usaha preventif untuk mencegah munculnya konflik baik dalam frame internal tim audit maupun antara auditor dengan auditan telah dilakukan, namun seringkali muncul pemicu-pemicu konflik yang di luar dugaan muncul dalam pelaksanaan audit. Sebuah metode yang sering disebut empat kuadran manajemen konflik menjelaskan berbagai alternatif penyelesaian konflik dipandang dari sudut menang – kalah masing-masing pihak:

1. Kuadran Menang-Menang (Kolaborasi)
Kuadran pertama ini merupakan gaya manajemen konflik kolaborasi atau bekerja sama. Tujuannya adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui sebuah kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang terlibat dalam konflik. Biasanya waktu yang dibutuhkan dalam penyelaian konflik ini paling lama karena harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya berada di kedua ujung ekstrim satu sama lainnya.
Komitmen yang besar dari kedua pihak sangat dibutuhkan untuk penyelesaian konflik type ini dan keuntungan yang bisa diperoleh jika proses ini berjalan dengan baik adalah dapat menumbuhkan hubungan jangka panjang yang kokoh . Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan bahwa masing-masing pihak memahami dengan sepenuhnya keinginan atau tuntutan pihak lainnya dan berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu kedua kepentingan tersebut.
2. Kuadran Menang-Kalah (Persaingan)
Kuadran kedua ini memastikan bahwa kita memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Biasanya kita menggunakan kekuasaan atau pengaruh kita untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut kita yang keluar sebagai pemenangnya. Biasanya pihak yang kalah akan lebih mempersiapkan diri dalam pertemuan berikutnya, sehingga terjadilah suatu suasana persaingan atau kompetisi di antara kedua pihak.
Type penyelesaian konflik ini akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah, sehingga sebaiknya hanya digunakan dalam keadaan terpaksa yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan tegas.
3. Kuadran Kalah-Menang (Mengakomodasi)
Agak berbeda dengan kuadran kedua, kuadran ketiga yaitu kita kalah – mereka menang ini berarti kita berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan pihak lain. Gaya ini kita gunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang kita inginkan.
Mengalah dalam hal ini bukan berarti kita kalah, tetapi kita menciptakan suasana untuk memungkinkan penyelesaian yang paripurna terhadap konflik yang timbul antara kedua pihak. Mengalah memiliki esensi kebesaran jiwa dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk juga mau mengakomodasi kepentingan kita sehingga selanjutnya kita bersama bisa menuju ke kuadran pertama.
4. Kuadran Kalah-Kalah (Menghindari konflik)
Kuadran keempat ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Atau bisa berarti bahwa kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut. Kita tidak memaksakan keinginan kita dan sebaliknya tidak terlalu menginginkan sesuatu yang dimiliki atau dikuasai pihak lain.
Cara ini sebetulnya hanya bisa kita lakukan untuk potensi konflik yang ringan dan tidak terlalu penting. Jadi agar tidak menjadi beban dalam pikiran atau kehidupan kita, sebaiknya memang setiap potensi konflik harus dapat segera diselesaikan.

Keempat alternatif penyelesaian konflik tersebut bukan merupakan pengkategorian mutlak atas penyelesaian konflik. Namun, arah dari setiap penyelesaian konflik jika dilihat dari frame kalah-menang akan menuju ke empat kuadran tersebut yang tentu saja juga terpengaruhi oleh style individu yang berbeda dalam setiap penyelesaian konflik, kualitas berat-ringannya dan penting-tidaknya permasalahan dalam konflik, serta kebutuhan cepat-tidaknya penyelesaian atas konflik yang ada.



Menjalin hubungan setelah terjadinya konflik.

Jika konflik telah terjadi dan berlalu, fase inilah yang paling krusial karena akan menyangkut kelanjutan hubungan interpersonal antar auditor ataupun auditor dengan auditan. Untuk hubungan antar auditor, mutlak harus dipertahankan keharmonisannya, karena secara organisasi Inspektorat Jenderal merupakan sebuah wadah bagi seluruh auditornya dalam membangun Inspektorat Jenderal sebagai Sistem Audit dan Quality Assurance bagi Departemen Perhubungan. Ketidakharmonisan hubungan antar auditor tentu saja akan berakibat langsung pada kualitas hasil audit Inspektorat Jenderal.
Sedangkan untuk hubungan antara auditor dengan auditan, posisi sebagai aparat Pengawasan Intern Departemen Perhubungan, auditor Inspektorat Jenderal lebih banyak berperan sebagai konsultan bagi auditan. Jelas bahwa hubungan yang harmonis antara keduanya merupakan tuntutan sebagai pondasi untuk membangun Departemen Perhubungan lebih baik lagi. Tanpa hubungan yang harmonis antara auditor dengan auditan, proses perbaikan kinerja dalam wujud pelaksanaan tindak lanjut atas rekomendasi temuan-temuan dalam Laporan Hasil Audit tidak dapat optimal dilaksanakan.
Kunci untuk membangun hubungan pasca konflik adalah dengan pemahaman yang mendalam bahwa konflik yang berkelanjutan hanya akan menyisakan efek negatif bagi kita. Efek negatif dalam hal ini adalah efek psikologis bagi diri kita seperti ketidaknyamanan psikologis, cemas, canggung, beban amarah dan sebagainya serta efek negatif terhadap kinerja organisasi. Beberapa hal yang perlu dipahami adalah bahwa:
 Perbedaan adalah hal yang wajar.
 Perbedaan hanya dalam ide, tidak dalam pekerjaan (Compete between ideas but cooperate between people).
 Jangan tumpuk permasalahan konflik dalam diri kita, semakin banyak tertumpuk semakin besar ledakannya.
 Yakini bahwa dalam setiap konflik, setiap orang adalah pemenangnya (win-win solution).

Kamis, 26 Maret 2009

Uneg-uneg

Reformasi Birokrasi dan SDM Aparatur



Birokrasi yang ada saat ini seringkali dituding sebagai biang keroknya ketidakefisienan, ketidakefektifan dan ketidakekonomisan kinerja pemerintah. Bobroknya birokrasi juga seringkali dituding sebagai awal dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebagai jawabannya, reformasi Birokrasi gencar didengungkan untuk membenahi permasalahan tersebut. Tetapi, ketika berbicara proses reformasi birokrasi pastilah muncul pertanyaan dari mana kita memulai reformasi birokrasi? Apa sih sebenarnya yang harus direformasi?
Salah satu variabel utama dari birokrasi yang harus segera direformasi adalah SDM aparatur pemerintah. Dan ketika brebicara mengenai SDM dalam reformasi birokrasi, terdapat dua sudut pandang yang harus secara bersinergi dalam proses reformasinya yaitu: SDM sebagai obyek sebuah birokrasi serta SDM sebagai subyek dalam sebuah birokrasi. Sebagai obyek, dapat diartikan bahwa reformasi haruslah menyentuh pola-pola manajemen SDM aparatur pemerintah yang diterapkan. Manajemen SDM disini tentusaja mencakup semua bentuk perlakuan terhadap SDM mulai dari rekruitmen, pola mutasi, promosi, pengembangan sampai dengan renumerasi. Manajemen SDM disini tentusaja didukung dengan peraturan dan kebijakan yang efektif dan murni mengarah kepada optimalisasi kinerja organisasi. Selanjutnya, peraturan dan kebijakan tersebut tentusaja diharapkan tidak hanya menjadi “macan kertas” tanpa implementasi yang obyektif.
Nah, implementasi inilah yang pada ujungnya mengarah ke pokok bahasan SDM sebagai subyek dalam sebuah birokrasi. SDM aparatur sebagai subyek dalam sebuah birokrasi memegang peranan yang sangat penting, karena merekalah pelaku utamanya. Sebagai pelaku utama, tanpa memiliki kemauan, semangat perubahan, visi serta idealisme untuk melakukan reformasi birokrasi maka reformasi birokrasi tinggalah slogan yang semakin menjauh ke awang-awang. Kemauan, semangat perubahan, visi serta idealisme ini hendaknya merupakan sebuah kesatuan komitmen setiap SDM aparatur pemerintah yang ada, terutama para elite birokrasi sebagai pengambil keputusan sampai dengan aparatur-aparatur pelaksana di bawahnya. Akhirnya proses reformasi birokrasi dikembalikan juga kepada para aparatur pemerintah yang bertanggungjawab atas kinerja pemerintah. Jika kita sendiri tidak memiliki kemauan untuk membenahi diri kita sendiri, berarti memang tidak ingin ada reformasi birokrasi. Jika kita tidak memiliki semangat perubahan, berarti memang menginginkan kondisi “status quo” , tidak ingin berubah menuju kebaikan. Jika kita tidak memiliki visi dan idealism, berarti puaslah kita untuk “jalan ditempat” selamanya.

Minggu, 08 Maret 2009

Coret-coretan

Model Sederhana Manajemen Staf



Salah satu kemampuan yang mutlak harus anda miliki sebagai seorang manajer adalah kemampuan memahami staf anda sebagai individu yang berbeda, yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Perlakuan yang tepat akan mengoptimalkan kinerja staf anda, kesalahan dalam perlakuan akan menyebabkan terbuangnya potensi dari staf anda.

Sebuah prinsip sederhana yang dikenal sebagai Joe Harry Window mengkategorikan individu berdasarkan dua aspek penting: Kompetensi dan Karakter. Kompetensi lebih berkaitan dengan kemampuan kerja yang dimiliki staf anda, sedangkan karakter berkaitan dengan sikap, sifat atau watak yang dimiliki staf anda.
Terdapat empat kategori individu dari prinsip ini:
1. Kategori yang pertama adalah staf dengan kelebihan kedua aspek, kompetensi dan karakter. Ini adalah staf yang diidam-idamkan oleh setiap manajer. Untuk staf kategori plus-plus ini, maka perlakuan yang tepat dalam pelaksanaan tugas adalah dengan pendelegasian. Anda tidak usah terlibat banyak dalam tugas-tugas yang dijalankannya, kalau perlu cukup pada awal memberikan pekerjaan dan pada akhir ketika menerima hasil pekerjaan tersebut. Berikan kepercayaan dan tanggungjawab penuh serta berikan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat menantang kepadanya. Kalau anda ingin memantau proses pekerjaanya, lakukan dengan cara yang tersamar dan tidak mencolok serta tidak mendikte.
2. Kategori kedua adalah individu dengan kelebihan pada kompetensi namun terdapat kekurangan pada karakter. Biasanya staf tipe ini justru memilki kompetensi yang tinggi atau bahkan lebih tinggi dari tipe pertama diatas. Anda bisa menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan yang bersifat konseling, dimana pendekatan secara individu atau non struktural lebih dibutuhkan untuk mengoptimalkan kelebihan kompetensi yang dimiliki staf tipe ini. Ibarat sebuah proses pendekatan seorang Pria terhadap wanita: luluhkan hatinya dulu, baru anda akan mendapatkannya seutuhnya. Keuntungan yang sangat besar bisa anda dapatkan dari staf tipe ini jika sudah anda dapatkan dan luluhkan hatinya. Etos kerja, ide-ide maupun loyalitas dari staf tipe ini bisa menjadi luar biasa jika anda telah menemukan cara-cara pendekatan yang sesuai.
3. Kategori ketiga adalah individu dengan kelebihan pada karakter namun terdapat kekurangan pada kompetensi. Untuk staf tipe ini, anda harus rajin memberikan bantuan atau melatih (coaching) pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan. Staf tipe ini biasanya memiliki semangat kerja serta kemauan belajar yang tinggi, namun karena ada keterbatasan pada kompetensi maka anda harus rajin memantau dan memberikan masukan-masukan cara kerja atau problem solving tugas-tugas yang efektif. Untuk lebih amannya, berikan tugas-tugas yang bersifat rutin dan kurang melibatkan ide-ide atau pemikiran baru kepadanya. Untuk tugas-tugas yang lebih berat jangan sekali-kali anda melepasnya untuk bekerja sendiri, kecuali anda telah yakin terhadap coaching yang telah anda lakukan terhadapnya.
4. Kategori keempat adalah individu dengan kekurangan pada keduanya baik kompetensi maupun karakter. Kebalikan dari tipe yang pertama, staf tipe ini adalah tipe yang paling tidak diminati oleh Manajer. Berikan kepadanya tugas-tugas yang bersifat rutin dan sederhana, karena anda harus menerapkan prinsip-prinsip directing dalam pelaksanaan tugas. Anda harus memberikan instruksi yang jelas, apa pekerjaannya, bagaimana caranya, dan berapa lama waktunya kepada staf tipe ini. Kesabaran adalah tuntutan utama bagi anda untuk menangani staf tipe ini, namun bagi sebagian Manajer, ini justru sebuah tantangan untuk bisa mengolah si minus-minus ini menjadi staf yang bisa mengoptimalkan potensinya.

Anda sebagai manajer tentu telah memiliki seni yang telah anda pelajari dan terapkan sesuai tipe dan kemampuan anda sendiri untuk mengelola staf-staf anda. Dalam menggunakan seni tersebut, pernahkah anda koreksi kelebihan dan kekurangannya? Coba lakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip sederhana Joe Harry Window diatas. Anda tidak perlu menerapkan teori-teori Management SDM yang njlimet lainnya, terapkan prinsip sederhana ini dengan benar, niscaya anda akan dapatkan hasil yang berbeda.

Senin, 23 Februari 2009

Uneg-uneg

CQ


Maksud dari huruf Q pada judul di atas adalah Quotient, yang pada awal mulanya digunakan pada istilah IQ (intelligence quotient) merupakan pengkategorian /level untuk melihat tingkat kecerdasan intelegensi seseorang. Sudah sangat jamak kita dengar istilah genius untuk seorang yang memiliki IQ tinggi artinya dia memiliki kemampuan intelektual yang tinggi seperti Albert Einstein atau pak Habibie. Untuk beberapa dekade, IQ sangat dominan sebagai sebuah alat ukur untuk mengkategorikan kemampuan manusia. IQ banyak dihubungkan dengan prestasi intelektual, prestasi studi, performa kerja, atau kemampuan manusia lainnya. Namun, kepopuleran penggunaan IQ sebagai satu-satunya metode untuk memotret kapabilitas manusia mulai ditanyakan ketika muncul teori quotient-quotient yang lainnya. Yang pertama dan paling populer muncul adalah Emotional Quotient (EQ) atau Kecerdasan Emosional yang merupakan suatu kesadaran diri, rasa percaya diri, penguasaan diri, komitmen dan integritas seseorang serta kemampuan seseorang dalam mengkomunikasikan, mempengaruhi, melakukan inisiatif perubahan dan menerimanya (Goleman, 1995). Orang yang memiliki EQ yang tinggi memiliki kemampuan lebih baik dalam kepemimpinan, pengambilan keputusan, kerjasama tim, kreativitas, inovasi, komunikasi hingga mengatasi konflik. Kemudian muncul Spiritual Quotient atau Emotional Spiritual Quotient (kecerdasan spiritual) yang banyak diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menyelaraskan hati dan budi sehingga ia mampu menjadi pemimpin yang berkarakter dan berwatak positif. Pada akhirnya banyak sekali kecerdasan-kecerdasan lain yang muncul seperti Financial Quotient (kecerdasan mengatur keuangan), Kecerdasan musik, kecerdasan bahasa serta kecerdasan-kecerdasan lainnya.
Merefleksikan teori-teori Quotient di atas, imajinasi saya terbang dan akhirnya hinggap pada sebuah permasalahan paling gawat di negeri ini: Korupsi (Corruption, C pada judul di atas). Korupsi sudah berabad tumbuh subur, waris-mewaris antar generasi bahkan banyak disimpulkan bahwa korupsi sudah membudaya di negeri ini. Mulai para pejabat pemerintahan atau pengusaha dengan korupsi tingkat tingginya yang tentusaja dengan uang yang besar pula sampai pedagang pinggir jalan yang mengurangi timbangan kilo-perkilo buahnya, semua sudah dianggap hal yang biasa dilakukan. Korupsi yang sudah membudaya ini merupakan media munculnya berbagai macam perilaku korupsi yang berjalan berabad-abad dengan metode yang selalu up-to-date mengikuti perkembangan jaman, teknologi serta peraturan-peraturan atau lembaga-lembaga penjeratnya. Hal-hal tersebut tentu saja akan menjadi model atau pola yang ter-patern pada setiap orang di negeri ini, yang pada akhirnya (akan sangat mungkin) mengarah kepada teori-teori Quotient yang saya sebutkan di atas dan dapat direfleksikan pada perilaku korupsi. Akhirnya, dari analogi tersebut, tidak salah jika kemudian saya memiliki ide untuk mengupas sebuah model kecerdasan yang berhubungan dengan perilaku korupsi, yaitu CQ atau Corruption Quotient (Kecerdasan Korupsi). CQ dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang melakukan korupsi, termasuk di dalamnya merencanakan, merancang, melakukan dan menutupi korupsi dengan tepat, aman, serta menguntungkan.
Meskipun hanya melalui sebuah analogi sederhana dari beberapa teori Quotient di atas, namun CQ bisa jadi sebuah penggambaran yang tepat dari perilaku-perilaku korupsi yang dilakukan di Negeri ini. Saat ini, metode-metode yang digunakan dalam korupsi sudah sangat beragam dan canggih dalam mengakali peraturan perundangan yang ada. Lembaga-lembaga anti korupsi semacam KPK pun kelihatannya kesulitan melaksanakan pemberantasan korupsi dan banyak dikritik hanya mampu melakukan tebang pilih. Hal tersebut menunjukkan betapa para pelaku korupsi di Negeri ini sangatlah cerdas bila ditinjau dari tingkat CQ-nya. Dan sialnya, tampaknya CQ ini bisa dengan cepat berkembang seiring dengan berbagai metode yang digunakan untuk mencegah atau membasmi korupsi. Ibarat virus penyakit yang semakin ganas dan rumit sebagai akibat dari resistensi terhadap obat-obat yang beraneka ragam jenisnya.

Sabtu, 03 Januari 2009

Uneg-uneg

Belajar Budaya Disiplin Dari Negeri Sakura


Disiplin masyarakat masih merupakan salah satu problem bangsa ini, termasuk pada penyelenggaraan pelayanan jasa di sektor perhubungan. Kesadaran masyarakat untuk berdisiplin masih rendah. Banyak dari mereka tidak menyadari bahwa kesadaran akan disiplin akan kembali kepada kenyamanan mereka juga dalam menikmati pelayanan jasa. Banyak contoh ketindaknyamanan atau bahkan keruwetan yang muncul akibat disiplin yang rendah dari masyarakat mulai dari tertib antri, buang sampah, bahkan sampai perilaku yang sangat membahayakan nyawa mereka seperti naik ke atap KRL. Memang kesalahan jangan ditimpakan seluruhnya kepada masyarakat, namun pemerintah selaku perumus kebijakan dan peraturan juga layak disalahkan juga, karena kunci utamanya memang seharusnya ada sinergi antara pemerintah dan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, beberapa hari yang lalu saya mendapatkan e-mail dari seorang teman kuliah di Negeri Sakura tentang Budaya Disiplin dalam membuang sampah, yang mungkin bisa kita jadikan salah satu model untuk belajar bagi kita. Isinya adalah sebagai berikut:
Di Negeri Jepang selalu dikampanyekan slogan "Utsukushii kuni" (Negara Jepang yang cantik), meskipun saya lihat setiap sudut negeri ini sudah tampak sangat bersih. Kebersihan memang menjadi ciri utama Jepang, yang rasanya sulit dijumpai di negara lain. Disiplin dalam membuang sampah telah membudaya di masyarakat. Baru-baru ini di Chukyo University, salah satu Universitas di Jepang dikeluarkan edaran mengenai terbentuknya "Gomihiroi-tai" di kampus. ”Gomihiroi-tai” artinya pasukan pemungut sampah yang bertujuan mewujudkan kampus Chukyo sebagai yang tercantik di Jepang. Saat ini, anggota pasukan ini mencapai 85 orang sukarelawan dan sukarelawati kampus. Edaran ini meminta partisipasi dari para dosen dan staf agar bergabung di pasukan ini.
Saat bergabung calon anggota pasukan itu harus mematuhi aturan-aturan sebagai berikut:
1. Sampah yang jatuh di kampus harus dipungut dengan tangan kosong ("sude"), tidak boleh memakai alat. Memungut kotoran anjing/kucing hanya diperuntukkan mereka yang bernyali-besar saja (“yuuki no aru hito”).
2. Jika menemukan puntung rokok atau permen karet, anda tidak boleh pura-pura seolah tidak melihatnya.
3. Saat berjalan kaki di kampus, anda harus memperhatikan kalau-kalau ada sampah yang harus dipungut dalam area sekitar anda pada radius 10 meter.
4. Jika anda melihat sampah jatuh di halaman kampus, anda tidak boleh mengumpat "Daregasuteta! Bakayaroo!" (“siapa sih yang buang sampah ini?...bego amat sih…!”). Anda harus memungut sampah itu dengan rasa senang dan hati ringan.
5. Saat memungut sampah itu, anda tidak boleh merasa malu atau merasa kurang pantas ("kakko warui"). Pungutlah dengan wajah ceria dan senyum di wajah.
Selain itu ada juga beberapa catatan tambahan sebagai berikut:
1. Tidak ada pungutan biaya untuk menjadi anggota "gomihiroi-tai"
2. Tidak akan ada perintah/komando dari pemimpin pasukan
3. Jika ingin keluar dari pasukan, silakan keluar sewajarnya
4. Jika anda melanggar aturan yang ditetapkan, maka sesalilah sendiri kesalahan anda itu di kamar gelap.
5. Tidak ada batasan maksimal jumlah anggota, usia, tinggi badan, maupun jenis kelamin
6. Aksi dilakukan perorangan. Tidak akan ada aksi bersama/serentak

Setelah selesai membaca e-mail tersebut dalam hati saya berkomentar: “Ah itu kan di Jepang, Negara yang sudah maju”. “Mau nyontoh apanya? Sulit kalau diterapkan di Negara kita…” “Apalagi isi aturannya…aneh dan lucu.” “Masih jauuuh dari kondisi Negara kita saat ini…”
Tapi beberapa saat kemudian saya ralat sendiri komentar saya tersebut: “Heh kita tidak boleh pesimis dong! Kuncinya kan kemauan toh? Kalo kita mau dan semua juga mau apa yang nggak bisa?”.....”Lha wong Jepang aja bisa koq, kita tidak?”
Masih di dalam hati, lalu saya ralat lagi komentar saya…..